Kamis, 28 Agustus 2008

Menakar Kejujuran

Menakar Kejujuran

Jangan heran jika Anda tak menemui seorang penjaga pun di kantin SMA Negeri 1 Ciparay Kab. Bandung. Meski banyak pembeli "menyerbu" makanan yang dijajakan, sang penjaga kantin tak akan pernah muncul. Uniknya, pembeli memahami benar keadaan itu. Mereka akan mengeluarkan uang dari saku dan meletakkannya dalam kotak khusus saat mengambil makanan, yang jumlahnya sesuai dengan harga banderol. Jika jumlah uangnya terlalu besar, pembeli pulalah yang mengambil kembaliannya.
Tidak, penjaga kantin tidak sedang berhalangan atau sakit. Kantin di SMAN 1 Ciparay di Desa Pakutandang, Kec. Ciparay, Kab. Bandung itu memang tak memiliki penjaga. Hanya kejujuran pembelilah yang memegang peran dalam kegiatan operasional kantin tersebut sehari-hari. Rugikan? Tentu saja tidak, selama kejujuran dapat ditegakkan oleh para pembeli. Konsep yang sangat sederhana, namun mungkin akan sangat sulit dalam pelaksanaannya.
Kantin di SMAN 1 Ciparay itu dinamai Kantin Kejujuran. Sekilas, kantin ini tak ubahnya kebanyakan kantin lainnya. Pembedanya hanya dalam pola pembayaran yang menitikberatkan pada kesadaran pembeli. Kantin Kejujuran yang diresmikan.langsung oleh Bupati Bandung Obar Sobarna, Selasa (15/1) itu merupakan metode baru yang rencananya akan diterapkan di seluruh sekolah di Kab. Bandung. Meski bukan yang pertama di Indonesia, boleh jadi Kantin Kejujuran ini merupakan yang pertama di Jawa Barat.
"Kantin Kejujuran ini juga menjadi ajang pembelajaran bagi generasi muda tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, lingkungan, hingga bangsa dan negara," kata Obar Sobarna. Ia berharap, tak akan ada lagi praktik "darmaji" alias dahar lima ngaku hiji (makan lima tetapi mengaku satu) dalam kehidupan sehari-hari. Jika praktik kejujuran ini mulai dapat diterapkan pada pelajar, maka diharapkan mereka akan menjadi penerus bangsa yang jujur untuk memajukan bangsa ini.
Kantin Kejujuran dapat merefleksikan tabiat para siswa yang ada di sekolah itu. Jika kantin tak bertahan lama karena bangkrut, maka hampir dipastikan para siswa di sekolah itu tak lagi berlaku jujur. Sebaliknya, kantin akan semakin maju saat semua siswa memegang tinggi asas kejujuran dalam kesehariannya.
Kantin Kejujuran itu digagas Pemkab Bandung, Kejaksaan Negeri Bandung, dan Karang Taruna. Tak tanggung-tanggung, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Eko Soesamto Tjiptadi turut hadir dalam peresmian kantin tersebut. Hadir pula Ketua Karang Taruna Pusat, Doddy Susanto.
"Saya yakin, jika satu sen saja uang dari kantin tersebut diselewengkan maka umur kantin ini tak akan lebih dari tiga bulan," kata Eko Soesamto Tjiptadi. Menurut dia, kantin tersebut merupakan media praktik pendidikan kejujuran bagi siswa sekolah. Siswa akan dihadapkan pada dua pilihan, apakah ingin menerapkan kejujuran hati nuraninya atau tidak.
"Kita seharusnya malu, Indonesia adalah negara terkorup kedua di Asia tahun ini. Ironisnya, negara ini memiliki sekitar 622.000 bangunan masjid dan paling banyak kegiatan khotbahnya," kata Eko yang disambut dengan riuhnya suara hadirin. Ia yakin, pemberantasan korupsi tidak akan berhasil selama tak ada peran serta seluruh masyarakat, termasuk siswa sebagai generasi penerus bangsa. Apabila kejujuran sudah diterapkan sejak dini, diharapkan akan dapat menyukseskan pemberantasan korupsi pada masa yang akan datang.
Acara pembukaan Kantin Kejujuran ini diikuti perwakilan SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah se Kab. Bandung. Pada tahap selanjutnya, program ini akan diterapkan di seluruh SLTA di Kab. Bandung. Pada kesempatan yang sama, Bupati Bandung memberikan dana stimulan bagi beberapa SLTA untuk menerapkan sistem Kantin Kejujuran tersebut.
Mungkin sudah saatnya para pejabat penting negara ini bercermin pada siswa SMAN 1 Ciparay. Jika anak sekolah saja bisa berbuat jujur, mengapa masih banyak pejabat yang korup? Tunggu apa lagi? ***
Sumber : Pikiran Rakyat, 16 Januari 2008
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2472

Arti Kejujuran

Kejujuran Sang Imam Hanafi

Selepas sholat subuh, Imam Hanafi bersiap membuka tokonya, di pusat kota Kufah.
Diperiksanya dengan cermat pakaian dan kain yang akan dijual. Sewaktu menemukan pakaian yang cacat, ia segera menyisihkannya dan meletakkannya di tempat yang terbuka. Supaya kalau ada yang akan membeli, ia dapat memperlihatkannya.
Ketika hari mulai siang, banyak pengunjung yang datang ke tokonya untuk membeli barang dagangannya. Tapi, ada juga yang hanya memilih-milih saja.
“Mari silakan, dilihat dulu barangnya. Mungkin ada yang disukai,” tawar Imam Hanafi tersenyum ramah.Seorang pengunjung tertarik pada pakaian yang tergantung di pojok kiri.
“Bolehkah aku melihat pakaian itu?” tanya perempuan itu. Imam Hanafi segera mengambilkannya.“Berapa harganya?” tanyanya sambil memandangi pakaian itu. Pakaian ini memang bagus. Tapi, ada sedikit cacat di bagian lengannya.” Imam Hanafi memperlihatkan cacat yang hampir tak tampak pada pakaian itu.
“Sayang sekali.” perempuan itu tampak kecewa.
“Kenapa Tuan menjual pakaian yang ada cacatnya?”
“Kain ini sangat bagus dan sedang digemari. Walaupun demikian karena ada cacat sedikit harus saya perlihatkan. Untuk itu saya menjualnya separuh harga saja.”
“Aku tak jadi membelinya. Akan kucari yang lain,” katanya.
“Tidak apa-apa, terima kasih,” sahut Imam Hanafi tetap tersenyum dalam hati, perempuan itu memuji kejujuran pedagang itu. Tidak banyak pedagang sejujur dia. Mereka sering menyembunyikan kecacatan barang dagangannya.
Sementara itu ada seorang perempuan tua, sejak tadi memperhatikan sebuah baju di rak.
Berulang-ulang dipegangnya baju itu. Lalu diletakkan kembali. Imam Hanafi lalu menghampirinya.“Silakan, baju itu bahannya halus sekali. Harganya pun tak begitu mahal.”
“Memang, saya pun sangat menyukainya.” Orang itu meletakkan baju di rak. Wajahnya kelihatan sedih.“Tapi saya tidak mampu membelinya. Saya ini orang miskin,” katanya lagi.
Imam Hanafi merasa iba. Orang itu begitu menyukai baju ini.
“Saya akan menghadiahkannya untuk ibu,” kata Imam Hanafi.
“Benarkah? Apa tuan tidak akan rugi?”
“Alhamdulillah, Allah sudah memberi saya rezeki yang lebih.”
Lalu, Imam Hanafi membungkus baju itu dan memberikannya pada orang tersebut.
“Terima kasih, Anda sungguh dermawan. Semoga Allah memberkahi.”
Tak henti-hentinya orang miskin itu berterima kasih.
Menjelang tengah hari, Imam Hanafi bersiap akan mengajar. Selain berdagang, ia mempunyai majelis pengajian yang selalu ramai dipenuhi orang-orang yang menuntut ilmu. Ia lalu menitipkan tokonya pada seorang sahabatnya sesama pedagang.
Sebelum pergi, Imam Hanafi berpesan pada sahabatnya agar mengingatkan pada pembeli kain yang ada cacatnya itu.
“Perlihatkan pada pembeli bahwa pakaian ini ada cacat di bagian lengannya. Berikan separo harga saja,” kata Imam Hanafi. Sahabatnya mengangguk. Imam Hanafi pun berangkat ke majelis pengajian.Sesudah hari gelap ia baru kembali ke tokonya.
“Hanafi, hari ini cukup banyak yang mengunjungi tokomu. O, iya! Pakaian yang itu juga sudah dibeli orang,” kata sahabatnya menunjuk tempat pakaian yang ada cacatnya.
“Apa kau perlihatkan kalau pada bagian lengannya ada sedikit cacat?” tanya Hanafi.
“Masya Allah aku lupa memberitahunya. Pakaian itu sudah dibelinya dengan harga penuh.” kata sahabatnya dengan nada menyesal.
Hanafi menanyakan ciri-ciri orang yang membeli pakaian itu. Dan ia pun bergegas mencarinya untuk mengembalikan sebagian uangnya.
“Ya Allah! Aku sudah menzhaliminya,” ucap Imam Hanafi.
Sampai larut malam, Imam Hanafi mencari orang itu kesana-kemari. Tapi tak berhasil ditemui.
Imam Hanafi amat sedih.
Di pinggir jalan tampak seorang pengemis tua dan miskin duduk seorang diri. Tanpa berpikir panjang lagi, ia sedekahkan uang penjualan pakaian yang sedikit cacat itu semuanya.
“Kuniatkan sedekah ini dan pahalanya untuk orang yang membeli pakaian bercacat itu,” ucap Imam Hanafi. Ia merasa tidak berhak terhadap uang hasil penjualan pakaian itu.
Imam Hanafi berjanji tidak akan menitipkan lagi tokonya pada orang lain.
Keesokan harinya Imam Hanafi kedatangan utusan seorang pejabat pemerintah. Pejabat itu memberikan hadiah uang sebanyak 10.000 dirham sebagai tanda terima kasih. Rupanya sang ayah merasa bangga anaknya bisa berguru pada Imam Hanafi di majelis pengajiannya. Imam Hanafi menyimpan uang sebanyak itu di sudut rumahnya. Ia tidak pernah menggunakan uang itu untuk keperluannya atau menyedekahkannya sedikitpun pada fakir miskin.
Seorang tetangganya merasa aneh melihat hadiah uang itu masih utuh.
“Kenapa Anda tidak memakainya atau menyedekahkannya?” tanyanya.
“Tidak, Aku khawatir uang itu adalah uang haram,” kata Imam Hanafi.
Barulah tetangganya mengerti kenapa Imam Hanafi berbuat begitu. Uang itu pun tetap tersimpan disudut rumahnya. Setelah beliau wafat, hadiah uang tersebut dikembalikan lagi kepada yang memberinya.

http://taubatku.wordpress.com/2008/08/13/kejujuran-imam-hanafi/

Arti Kejujuran
Abdullah bin Dinar meriwayatkan, suatu hari ia melakukan perjalanan bersama Khalifah Umar bin Khathab dari Madinah ke Mekah. Di tengah jalan mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang tampak sibuk mengurus kambing-kambingnya. Seketika itu muncul keinginan Khalifah untuk menguji kejujuran si gembala. Kata Khalifah Umar, "Wahai gembala, juallah kepadaku seekor kambingmu." "Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya," jawab si gembala. "Katakan saja nanti kepada tuanmu, satu ekor kambingmu dimakan serigala," lanjut Khalifah. Kemudian si gembala menjawab dengan sebuah pertanyaan, "Lalu, di mana Allah?"

Khalifah Umar tertegun karena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata ia pun berkata, "Kalimat 'di mana Allah' itu telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak." Kisah di atas merupakan gambaran pribadi yang jujur, menjalankan kewajiban dengan disiplin yang kuat, tidak akan melakukan kebohongan walau diiming-imingi dengan keuntungan materi.

Islam menganjurkan berlaku jujur bagi setiap orang --apa pun profesinya-- dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Nabi Muhammad saw menegaskan, "Berlaku jujurlah, karena sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada kebaikan, dan sesungguhnya kejujuran itu menuntun ke surga. Dan jauhilah dusta, karena dusta itu menyeret kepada dosa dan kemungkaran, dan sesungguhnya dosa itu menuntun ke neraka." (HR Bukhari).

Berlaku jujur memang sulit manakala ia berbenturan dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat duniawi. Orang rela mengorbankan kejujurannya demi kepentingan materi, pangkat, jabatan dan semacamnya. Yang tergambar dalam pikirannya bahwa dengan banyaknya materi yang dia miliki segera akan dihormati orang banyak, dengan ketinggian jabatan dan kedudukan yang dia sandang serta merta mendapatkan penghargaan dan prestise di masyarakat.

Dari sini maka muncullah spekulasi kebohongan untuk maksud asal bapak senang, menghalalkan segala cara, menumpuk kekayaan di atas keprihatinan orang lain, tidak peduli akan terjadinya kesenjangan sosial, dan meningkatnya angka kemiskinan. Alhasil, kebohongan demi kebohongan dengan mudah ia lakukan demi kesenangan dan kenikmatan sesaat.

Dalam kaitannya dengan kejujuran ini, ada seorang sahabat masuk Islam, yang sebelumnya sangat gemar melakukan dosa besar --berzina, berjudi, merampok, dan lain-lain. Dengan sangat jujur dia ceritakan perbuatannya ini di hadapan Rasulullah. Setelah Nabi memahami apa yang ia kisahkan itu, beliau memberi fatwa kepada sahabat ini dengan satu kalimat pendek, "Jangan berbohong."

Awalnya, ia menganggap begitu sepele permintaan Rasulullah ini, namun ternyata implikasinya begitu indah, mampu membebaskannya dari segala perbuatan dosa. Setiap ada keinginan berbuat dosa, ia selalu teringat pada nasihat Nabi saw. Sedangkan untuk berkata jujur bahwa ia telah berbuat kejahatan, ia malu dengan dirinya sendiri. Akhirnya, dengan kesadaran penuh ia pun meninggalkan segala perbuatan dosa dan menjadi pengikut setia Rasulullah.

( Husein Imbali)
http://www.republika.co.id/launcher/view2/mid/161/news_id/5182

Jumat, 22 Agustus 2008

LAGI - LAGI KANTIN KEJUJURAN

Kantin Kejujuran
Beberapa sekolah mulai menerapkan “kantin kejujuran”: Siswa bebas ambil jajanan, mau berbohong, mau “nembak”, terserah.
Koran Tempo pada Minggu hari ini menulis, beberapa SMP dan SMA mulai mengajarkan pendidikan anti-korupsi kepada siswanya. Contohnya SMP Keluarga di Kudus, Jawa Tengah, membuat jajak pendapat terhadap siswa apakah bekas Presiden Soeharto adalah koruptor atau bukan. Hasilnya mengejutkan, ternyata Soeharto dianggap pahlawan oleh sebagian besar siswa. Sebanyak 83 siswa menilai Soeharto sebagai pahlawan, 33 siswa melihatnya sebagai koruptor, dan 55 siswa bersikap ragu.
Blog Berita: Tentu sangat berbeda dengan mahasiswa, yang bisa dipastikan sebagian besar menilai Soeharto sebagai koruptor. Apakah ini karena siswa di tingkat SMP dan SMA belum melek media — tidak sering membaca koran atau menonton berita di tivi?
Menurut Koran Tempo, sekolah lain mengajarkan materi anti-korupsi lewat lomba bikin puisi dan melukis poster dengan topik anti-korupsi. Di SMP Keluarga, SMAN 1 Tambun Bekasi, dan SMP 8 Padang dibuat kantin kejujuran. Warung ini dimodali OSIS dan uang siswa sendiri. Tidak ada kasir atau penjaga kantin, siswa bebas mengambil jajanan. Bila hendak membayar, siswa menaruh uangnya sendiri dan mengambil kembaliannya. Kalau mau ngutang, mereka mencatat sendiri.
Umumnya siswa bersikap jujur, dan hanya sedikit yang berbohong. “Nanti bisa seperti negaramu. Bisa bangkrut, dan itu namanya korupsi,” kata Basuki, guru SMP Keluarga, mengingatkan muridnya.
SMP Keluarga adalah sekolah di bawah naungan sebuah yayasan Katolik. Pihak pastoral telah mengeluarkan nota agar sekolah itu peduli mengatasi korupsi.
Blog Berita: Menerapkan kantin kejujuran di sekolah-sekolah di Tanah Batak, mungkinkah? “Holan sada do huallang pisang goreng, mi gomak saporsi.” Hape nungnga tolu pisang goreng dohot partambuan mi gomak. “Cuma satu aku ambil pisang goreng dengan satu mangkuk mie.” Padahal sudah tiga pisang dan mienya juga nambah. [blogberita.net]

Minggu, 17 Agustus 2008

Puasa

Puasa Itu Sederhana
2008-08-15 14:56:00

Dalam rangka menggapai ketakwaan sebagai tujuan berpuasa, ada baiknya sesekali melakukan perenungan yang mendalam terhadap niat dan perilaku kita. Niat bukan hanya sekadar kemauan (wants, interest, desire), tetapi sebuah komitmen, sebuah akad yang mengilhami seluruh relung jiwa yang melahirkan kesungguhan (jihad), tekad dan nyala api yang tak pernah padam. Niat merupakan dorongan yang maha kuat, sebuah motivasi (berasal dari bahasa Latin, movere yang artinya bergerak keluar, senada dengan kata emovere, emosi) untuk mewujudkan seluruh harapan dalam bentuk tindakan.

Kualitas pekerjaan seseorang sangat ditentukan oleh kualitas niatnya. Begitu juga dengan berpuasa. Kita diminta untuk memasang niat berpuasa, sebuah dorongan dan nyala api untuk melaksanakan puasa dalam arti yang utuh, yaitu ibadah yang bersifat personal dan sekaligus sosial. Bersifat personal, dikarenakan puasa merupakan bentuk pencerahan batin (Tarbiyatul Qolbi). Hati yang telah tercerahkan akan berbinar cahaya (nur) sehingga dia mengetahui secara jelas (karena diterangi cahaya), mana yang hak dan mana yang batil.

Puasa akan melahirkan kejujuran, amanah dan menumbuhkan semangat pelayanan (sense of servitude) yang sangat tinggi. Penghambaan dirinya kepada Allah yang dinyatakan setiap hari minimal 17 kali (iyyaka na'budu) diterjemahkannya dalam bentuk perilaku yang aktual dengan cara menunjukkan sikap pelayanan yang bertanggung jawab (stewardship). Ini semua bermula dari niat yang disertai dengan ilmu dan arah yang benar. Nabi bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa dengan iman dan penuh perhitungan, akan diampuni dosa-dosanya."

Dari hadis ini tampaklah bahwa iman merupakan dasar dipasangnya niat yang disertai ihtishab sebagai proses penelitian bahkan menguji diri sendiri (self examination). Sehingga, kualitas niat berpuasa akan melahirkan dua hal besar yang akan merubah sikap hidupnya. Pertama, niat berpuasa karena rasa cinta dan rindu yang teramat sangat untuk menghadirkan wajah Allah, sehingga mereka hanya memalingkan seluruh harapan dan tindakannya untuk selalu berpihak di jalan Allah (Al Shirath Al Mustaqiim).

Kedua, mereka mewujudkan niatnya tersebut dalam bentuk sikap hidup sederhana bahkan melatih untuk hidup berkekurangan, sebagaimana doa Rasulullah: "... Yaa Allah, jadikanlah hamba kenyang sehari dan lapar sehari. Agar pada saat perut kenyang, hamba mau bersyukur, dan ketika lapar hamba menjadi orang yang sabar."

Para assabiqqunal awwalun (path finder) menjadikan sikap hidup sederhana (wara') sebagai hiasan perilaku hidupnya. Pada suatu saat Umar bin Khattab ditanya, "Kenapa Anda makan gandum yang kasat dan berpakaian sangat sederhana. Dan Anda hanya minum air putih setiap hari, padahal Anda adalah Al Farouk-Pemimpin umat yang besar?" Umar bin Khattab menjawab: "Aku menjadi pemimpin ini dipilih oleh rakyat, di antara mereka masih banyak yang hidup sangat sederhana bahkan dalam keadaan miskin. Tidak pantas seorang yang dipilih rakyat, makan dan minum serta berpakaian melebihi rakyatnya!"

Puasa telah melahirkan pribadi-pribadi yang berakhlak mulia (noble paragon). Puasa telah melahirkan tipikal para pemimpin masa lalu yang hidup sederhana bahkan berkekurangan, karena dia menjaga diri (iffah) agar tidak diperbudak oleh dunia. (agi)

(Toto Tasmara)
http://www.republika.co.id/launcher/view2/mid/161/news_id/4315

Jumat, 15 Agustus 2008

musuh bangsa terbesar

Apakah sudah sulit sekali bangsaku untuk berubah menjadi bangsa yg jujur?, kenapa kejujuran yg merupakan sesuatu yg mudah kok menjadi sulit dikerjakan dinegaraku tercinta ini? penyakit apalagi ini? Kenapa masih banyak saja yg mengatakan bahwa jujur itu sulit dan tidak menguntungkan? Pemikiran terbalik apalagi yg diidap oleh bangsa ini? Mana yg namanya falsafah bangsa yg adiluhung, kalau kejujuran saja tidak dimiliki? Jangan mengatakan bangsa yg beradab kalau tidak bisa menomor satukan kejujuran! Saya adalah seorang yg mendambakan kejujuran berada dihati seluruh bangsaku ini, termasuk generasi muda dan anak-anak bangsa ini harus dan harus bisa menjadi anak bangsa yg selalu hidup jujur. Kapan itu ? ya sekarang dan sekarang juga. Musuh bangsa terbesar adalah apabila kita tidak bisa jujur dalam segala tindakan, tingkah laku dan pemikiran serta angan-angan.

Rabu, 13 Agustus 2008

Jangan bobrok bangsaku

Mengapa kabar berita yang beredar bangsa ini belum juga menggambarkan sebagai bangsa yg besar, mengapa demikian ? Karena kami berpandangan bahwa bangsa yg besar adalah bila manusia yg ada didalamnya mempunyai sifat yg JUJUR, DISIPLIN, SENANG BEKERJA KERAS, SPORTIF, dan senang mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Alam seisinya yaitu Allah Swt. Tidak ada kebohongan dan kepalsuan dalam kehidupan sehari. Memang tidak mudah mudah merubah budaya bangsa yg sudah bobrok ini, tetapi semua harus bertekat untuk memulainya sekarang dan sekarang juga. Saatnya beramar makruf nahi mungkar benar-benar diwujudkan, tanpa banyak menunggu, atau merenung saja, tapi dengan berbuat dan berbuat. Kerjakan apa saja yang diimpikan, dan renungkan apa saja yg telah diperbuat.

Sabtu, 02 Agustus 2008

Guru

KEHADIRAN Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo dan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Baedhowi, pada seminar tentang sertifikasi guru di Semarang, 19 Maret 2008 lalu kiranya penting dan strategis di tengah munculnya berita kurang sedap mengenai sertifikasi guru.

Menurut Ketua Tim Independen Monitoring dan Evaluasi Sertifikasi Guru, Ahmad Rizali, berbagai kecurangan dan penyelewengan telah terjadi dalam proses sertifikasi tersebut. Riilnya, sejumlah guru disinyalamen memalsu sertifikat seminar dan lokakarya, bahkan ada yang memalsu ijazah sarjana strata satu (S1).

Di luar itu, muncul praktik pungutan liar yang dilakukan beberapa oknum Dinas Pendidikan, yakni melalui penarikan uang kepada sejumlah guru agar proses sertifikasinya berjalan lancar.

Sekarang ini sertifikat pendidik sangat didambakan oleh guru karena dengan selembar kertas tersebut ia akan diakui keprofesionalannya sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD); dan dengan pengakuan tersebut kesejahteraannya dapat ditingkatkan.

Metode Portofolio
Metode sertifikasi yang digunakan oleh pemerintah adalah menggunakan portofolio. Dalam metode itu setiap guru yang ingin mendapatkan sertifikat pendidik diminta mengumpulkan sepuluh jenis dokumen; yaitu (1) Kualifikasi Akademik, (2) Pendidikan dan Pelatihan, (3) Pengalaman Mengajar; (4) Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran; (5) Penilaian dari Atasan dan Pengawas; (6) Prestasi Akademik; (7) Karya Pengembangan Profesi; (8) Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah; (9) Pengalaman Organisasi di Bidang Kependidikan; dan (10) Penghargaan yang Relevan dengan Bidang Pendidikan.

Guru yang tidak dapat mengumpulkan sepuluh jenis dokumen itu jangan berharap dapat memperoleh sertifikat pendidik yang didambakannya. Harus kita akui bahwa metode portofolio tersebut merupakan metode yang efektif dan produktif untuk berbagai kepentingan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Partisipan yang dikenai metode itu akan mengisi data yang diminta secara benar, untuk selanjutnya diserahkan kepada yang berkepentingan.

Kalau di negara-negara maju metode portofolio dapat dijalankan secara efektif dan produktif, ternyata tidak demikian di Indonesia; setidak-tidaknya dalam kasus sertifikasi guru dalam dua tahun terakhir ini. Mengapa begitu? Ya, karena para guru sebagai partisipan belum memiliki budaya mendokumentasi data, sekalipun data tersebut berkait langsung dengan profesi yang digelutinya.

Apakah guru mendokumentasikan catatan-catatan dalam seminar, lokakarya, simposium, dsb, yang pernah diikutinya? Apakah para guru mendokumentasi catatan ketika mendampingi siswanya melakukan kempetisi akademik? Apakah guru mendokumentasi kegiatan pembimbingan kepramukaan?
Kalau jujur, pasti mereka akan menjawa: tidak! Kebanyakan guru tidak mendokumenrtasi kegiatan tersebut. Kalau pun mereka memiliki catatan, biasanya catatannya itu tidak didokumentasi secara tertib.

Akibatnya, ketika diminta mengisi data, sudah tentu disertai dengan bukti fisik seperti catatan, sertifikat seminar, dan surat keterangan bimbingan, mereka grobyagan untuk menjalankannya. Bahkan tak sedikit yang frustasi karena kehilangan dokumen penting tersebut.

Itulah kendala kultural yang dihadapi dalam menjalankan metode portofolio tersebut. Anehnya, banyak guru yang mengalami kesulitan pengisian dokumen tidak melakukan introspeksi untuk mengetahui kekurangan dirinya sendiri, akan tetapi justru cenderung menyalahkan sistem dan metodenya. Mereka menyalahkan metode portofolio yang dianggapnya terlalu berat.
Memperbaiki Mental
Metode portofolio yang sudah berjalan selama ini ternyata juga rawan pemalsuan data. Dalam dokumen (8) Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah, misalnya, guru yang tidak mengikuti seminar ternyata dapat mengisi telah mengikuti kegiatan tertentu; dan anehnya guru tersebut dapat melampirkan bukti sertifikat seminar. Memang aneh, tidak mengikuti seminar tetapi dapat melampirkan sertifikat seminar.

Di Indonesia, hal itu memang kedengaran lucu, tapi faktanya demikian; orang yang tidak menghadiri seminar pendidikan dapat memiliki sertifikat seminar pendidikan; guru yang tidak melakukan pembimbingan kegiatan kesiswaan dapat memiliki surat keterangan pembimbingan kegiatan kesiswaan, dan sejenisnya.

Dengan begitu, pemalsuan pengisian data banyak terjadi dalam menjalankan metode portofolio dalam rangka pensertifikasian pendidik. Banyaknya kelemahan dalam menjalankan metode portofolio sepertinya sudah disadari oleh pemerintah, dalam hal itu Depdiknas, sehingga ada kemungkinan dalam kegiatan sertifikasi guru di waktu-waktu mendatang akan dilakukan remetodifikasi alias peninjauan ulang terhadap metode yang ada selama ini.
Apakah metode portofolio tersebut harus diubah dengan metode lain? Bisa saja diubah sepanjang ada jaminan bahwa metode yang baru akan lebih efektif dan produktif kalau dijalankan di kemudian hari.

Permasalahan utama dalam sertifikasi guru sebenarnya bukan pada metodenya itu sendiri, melainkan pada kultur para guru yang tidak memiliki budaya mendokumentasi data secara tertib serta mental sebagian dari mereka yang (terkadang) mau memalsu data untuk kepentingan jangka pendek. Kalau kedua hal itu dapat dibenahi, maka sertifikasi guru relatif tidak akan banyak menghadapi kendala.

Kalau dalam berbagai kasus sertifikasi ternyata banyak kecurangan yang dilakukan oleh oknum guru, barangkali bukan sistemnya yang harus diubah, melainkan mental gurunya yang harus diperbaiki.(68)

–– Prof Dr H Ki Supriyoko MPd, pamong Tamansiswa, mantan sekretaris Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan Indonesia.

Muncul praktik pungutan liar yang dilakukan beberapa oknum Dinas Pendidikan, yakni penarikan uang kepada sejumlah guru agar proses sertifikasinya berjalan lancar.

Sumber : Suara Merdeka Online

Kantin Kejujuran

Kantin Kejujuran, Ambil Makanan dan Bayar Sendiri
SEKOLAH - Ada yang berbeda di kantin SMA Negeri 3 Semarang, Jawa Tengah. Tidak ada pelayan maupun kasir di kantin itu. Pembeli tidak hanya mengambil makanannya sendiri, namun juga membayar -jika perlu mengambil kembaliannya- sendiri.

Tidak takut ada yang curang? Tidak. Sebab, kantin itu adalah Kantin Kejujuran. Ide awalnya, menurut Kepala SMA 3 Semarang Drs Soedjono Msi, adalah kantin swalayan. ''Lantas, kami kembangkan untuk melatih kejujuran siswa,'' katanya.

Awalnya hanya ada satu kios yang menggunakan sistem kantin kejujuran. Sedangkan pedagang lain yang juga karyawan sekolah dan pedagang dari luar masih berpikir ulang untuk menerapkan konsep tersebut. ''Mungkin awalnya mereka (pedagang) masih ragu menggunakan konsep kantin kejujuran."

Setelah diresmikan oleh Jaksa Agung Hendarman Supanji pada akhir April lalu, perkembangan kantin kejujuran mengarah positif. Setidaknya, di antara enam kantin, tiga sudah menerapkan konsep kejujuran. (jpnn/ruk)

Kantin Kejujuran

Kantin Kejujuran

Sabtu, 02 Agustus 2008

http://www.jawapos.co.id/imgs/selalauadaygbaru.jpg

Top of Form

Bottom of Form

Jawa Pos, http://www.jawapos.co.id/

Nusantara

http://www.jawapos.co.id/imgall/12/imgori/15595large.jpg

[ Jum'at, 01 Agustus 2008 ]

Kantin Kejujuran, Ambil Makanan dan Bayar Sendiri

SEKOLAH - Ada yang berbeda di kantin SMA Negeri 3 Semarang, Jawa Tengah. Tidak ada pelayan maupun kasir di kantin itu. Pembeli tidak hanya mengambil makanannya sendiri, namun juga membayar -jika perlu mengambil kembaliannya- sendiri.

Tidak takut ada yang curang? Tidak. Sebab, kantin itu adalah Kantin Kejujuran. Ide awalnya, menurut Kepala SMA 3 Semarang Drs Soedjono Msi, adalah kantin swalayan. ''Lantas, kami kembangkan untuk melatih kejujuran siswa,'' katanya.

Awalnya hanya ada satu kios yang menggunakan sistem kantin kejujuran. Sedangkan pedagang lain yang juga karyawan sekolah dan pedagang dari luar masih berpikir ulang untuk menerapkan konsep tersebut. ''Mungkin awalnya mereka (pedagang) masih ragu menggunakan konsep kantin kejujuran."

Setelah diresmikan oleh Jaksa Agung Hendarman Supanji pada akhir April lalu, perkembangan kantin kejujuran mengarah positif. Setidaknya, di antara enam kantin, tiga sudah menerapkan konsep kejujuran. (jpnn/ruk)