Sabtu, 02 Agustus 2008

Guru

KEHADIRAN Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo dan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Baedhowi, pada seminar tentang sertifikasi guru di Semarang, 19 Maret 2008 lalu kiranya penting dan strategis di tengah munculnya berita kurang sedap mengenai sertifikasi guru.

Menurut Ketua Tim Independen Monitoring dan Evaluasi Sertifikasi Guru, Ahmad Rizali, berbagai kecurangan dan penyelewengan telah terjadi dalam proses sertifikasi tersebut. Riilnya, sejumlah guru disinyalamen memalsu sertifikat seminar dan lokakarya, bahkan ada yang memalsu ijazah sarjana strata satu (S1).

Di luar itu, muncul praktik pungutan liar yang dilakukan beberapa oknum Dinas Pendidikan, yakni melalui penarikan uang kepada sejumlah guru agar proses sertifikasinya berjalan lancar.

Sekarang ini sertifikat pendidik sangat didambakan oleh guru karena dengan selembar kertas tersebut ia akan diakui keprofesionalannya sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD); dan dengan pengakuan tersebut kesejahteraannya dapat ditingkatkan.

Metode Portofolio
Metode sertifikasi yang digunakan oleh pemerintah adalah menggunakan portofolio. Dalam metode itu setiap guru yang ingin mendapatkan sertifikat pendidik diminta mengumpulkan sepuluh jenis dokumen; yaitu (1) Kualifikasi Akademik, (2) Pendidikan dan Pelatihan, (3) Pengalaman Mengajar; (4) Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran; (5) Penilaian dari Atasan dan Pengawas; (6) Prestasi Akademik; (7) Karya Pengembangan Profesi; (8) Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah; (9) Pengalaman Organisasi di Bidang Kependidikan; dan (10) Penghargaan yang Relevan dengan Bidang Pendidikan.

Guru yang tidak dapat mengumpulkan sepuluh jenis dokumen itu jangan berharap dapat memperoleh sertifikat pendidik yang didambakannya. Harus kita akui bahwa metode portofolio tersebut merupakan metode yang efektif dan produktif untuk berbagai kepentingan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Partisipan yang dikenai metode itu akan mengisi data yang diminta secara benar, untuk selanjutnya diserahkan kepada yang berkepentingan.

Kalau di negara-negara maju metode portofolio dapat dijalankan secara efektif dan produktif, ternyata tidak demikian di Indonesia; setidak-tidaknya dalam kasus sertifikasi guru dalam dua tahun terakhir ini. Mengapa begitu? Ya, karena para guru sebagai partisipan belum memiliki budaya mendokumentasi data, sekalipun data tersebut berkait langsung dengan profesi yang digelutinya.

Apakah guru mendokumentasikan catatan-catatan dalam seminar, lokakarya, simposium, dsb, yang pernah diikutinya? Apakah para guru mendokumentasi catatan ketika mendampingi siswanya melakukan kempetisi akademik? Apakah guru mendokumentasi kegiatan pembimbingan kepramukaan?
Kalau jujur, pasti mereka akan menjawa: tidak! Kebanyakan guru tidak mendokumenrtasi kegiatan tersebut. Kalau pun mereka memiliki catatan, biasanya catatannya itu tidak didokumentasi secara tertib.

Akibatnya, ketika diminta mengisi data, sudah tentu disertai dengan bukti fisik seperti catatan, sertifikat seminar, dan surat keterangan bimbingan, mereka grobyagan untuk menjalankannya. Bahkan tak sedikit yang frustasi karena kehilangan dokumen penting tersebut.

Itulah kendala kultural yang dihadapi dalam menjalankan metode portofolio tersebut. Anehnya, banyak guru yang mengalami kesulitan pengisian dokumen tidak melakukan introspeksi untuk mengetahui kekurangan dirinya sendiri, akan tetapi justru cenderung menyalahkan sistem dan metodenya. Mereka menyalahkan metode portofolio yang dianggapnya terlalu berat.
Memperbaiki Mental
Metode portofolio yang sudah berjalan selama ini ternyata juga rawan pemalsuan data. Dalam dokumen (8) Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah, misalnya, guru yang tidak mengikuti seminar ternyata dapat mengisi telah mengikuti kegiatan tertentu; dan anehnya guru tersebut dapat melampirkan bukti sertifikat seminar. Memang aneh, tidak mengikuti seminar tetapi dapat melampirkan sertifikat seminar.

Di Indonesia, hal itu memang kedengaran lucu, tapi faktanya demikian; orang yang tidak menghadiri seminar pendidikan dapat memiliki sertifikat seminar pendidikan; guru yang tidak melakukan pembimbingan kegiatan kesiswaan dapat memiliki surat keterangan pembimbingan kegiatan kesiswaan, dan sejenisnya.

Dengan begitu, pemalsuan pengisian data banyak terjadi dalam menjalankan metode portofolio dalam rangka pensertifikasian pendidik. Banyaknya kelemahan dalam menjalankan metode portofolio sepertinya sudah disadari oleh pemerintah, dalam hal itu Depdiknas, sehingga ada kemungkinan dalam kegiatan sertifikasi guru di waktu-waktu mendatang akan dilakukan remetodifikasi alias peninjauan ulang terhadap metode yang ada selama ini.
Apakah metode portofolio tersebut harus diubah dengan metode lain? Bisa saja diubah sepanjang ada jaminan bahwa metode yang baru akan lebih efektif dan produktif kalau dijalankan di kemudian hari.

Permasalahan utama dalam sertifikasi guru sebenarnya bukan pada metodenya itu sendiri, melainkan pada kultur para guru yang tidak memiliki budaya mendokumentasi data secara tertib serta mental sebagian dari mereka yang (terkadang) mau memalsu data untuk kepentingan jangka pendek. Kalau kedua hal itu dapat dibenahi, maka sertifikasi guru relatif tidak akan banyak menghadapi kendala.

Kalau dalam berbagai kasus sertifikasi ternyata banyak kecurangan yang dilakukan oleh oknum guru, barangkali bukan sistemnya yang harus diubah, melainkan mental gurunya yang harus diperbaiki.(68)

–– Prof Dr H Ki Supriyoko MPd, pamong Tamansiswa, mantan sekretaris Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan Indonesia.

Muncul praktik pungutan liar yang dilakukan beberapa oknum Dinas Pendidikan, yakni penarikan uang kepada sejumlah guru agar proses sertifikasinya berjalan lancar.

Sumber : Suara Merdeka Online

Kantin Kejujuran

Kantin Kejujuran, Ambil Makanan dan Bayar Sendiri
SEKOLAH - Ada yang berbeda di kantin SMA Negeri 3 Semarang, Jawa Tengah. Tidak ada pelayan maupun kasir di kantin itu. Pembeli tidak hanya mengambil makanannya sendiri, namun juga membayar -jika perlu mengambil kembaliannya- sendiri.

Tidak takut ada yang curang? Tidak. Sebab, kantin itu adalah Kantin Kejujuran. Ide awalnya, menurut Kepala SMA 3 Semarang Drs Soedjono Msi, adalah kantin swalayan. ''Lantas, kami kembangkan untuk melatih kejujuran siswa,'' katanya.

Awalnya hanya ada satu kios yang menggunakan sistem kantin kejujuran. Sedangkan pedagang lain yang juga karyawan sekolah dan pedagang dari luar masih berpikir ulang untuk menerapkan konsep tersebut. ''Mungkin awalnya mereka (pedagang) masih ragu menggunakan konsep kantin kejujuran."

Setelah diresmikan oleh Jaksa Agung Hendarman Supanji pada akhir April lalu, perkembangan kantin kejujuran mengarah positif. Setidaknya, di antara enam kantin, tiga sudah menerapkan konsep kejujuran. (jpnn/ruk)

Kantin Kejujuran

Kantin Kejujuran

Sabtu, 02 Agustus 2008

http://www.jawapos.co.id/imgs/selalauadaygbaru.jpg

Top of Form

Bottom of Form

Jawa Pos, http://www.jawapos.co.id/

Nusantara

http://www.jawapos.co.id/imgall/12/imgori/15595large.jpg

[ Jum'at, 01 Agustus 2008 ]

Kantin Kejujuran, Ambil Makanan dan Bayar Sendiri

SEKOLAH - Ada yang berbeda di kantin SMA Negeri 3 Semarang, Jawa Tengah. Tidak ada pelayan maupun kasir di kantin itu. Pembeli tidak hanya mengambil makanannya sendiri, namun juga membayar -jika perlu mengambil kembaliannya- sendiri.

Tidak takut ada yang curang? Tidak. Sebab, kantin itu adalah Kantin Kejujuran. Ide awalnya, menurut Kepala SMA 3 Semarang Drs Soedjono Msi, adalah kantin swalayan. ''Lantas, kami kembangkan untuk melatih kejujuran siswa,'' katanya.

Awalnya hanya ada satu kios yang menggunakan sistem kantin kejujuran. Sedangkan pedagang lain yang juga karyawan sekolah dan pedagang dari luar masih berpikir ulang untuk menerapkan konsep tersebut. ''Mungkin awalnya mereka (pedagang) masih ragu menggunakan konsep kantin kejujuran."

Setelah diresmikan oleh Jaksa Agung Hendarman Supanji pada akhir April lalu, perkembangan kantin kejujuran mengarah positif. Setidaknya, di antara enam kantin, tiga sudah menerapkan konsep kejujuran. (jpnn/ruk)