Minggu, 17 Agustus 2008

Puasa

Puasa Itu Sederhana
2008-08-15 14:56:00

Dalam rangka menggapai ketakwaan sebagai tujuan berpuasa, ada baiknya sesekali melakukan perenungan yang mendalam terhadap niat dan perilaku kita. Niat bukan hanya sekadar kemauan (wants, interest, desire), tetapi sebuah komitmen, sebuah akad yang mengilhami seluruh relung jiwa yang melahirkan kesungguhan (jihad), tekad dan nyala api yang tak pernah padam. Niat merupakan dorongan yang maha kuat, sebuah motivasi (berasal dari bahasa Latin, movere yang artinya bergerak keluar, senada dengan kata emovere, emosi) untuk mewujudkan seluruh harapan dalam bentuk tindakan.

Kualitas pekerjaan seseorang sangat ditentukan oleh kualitas niatnya. Begitu juga dengan berpuasa. Kita diminta untuk memasang niat berpuasa, sebuah dorongan dan nyala api untuk melaksanakan puasa dalam arti yang utuh, yaitu ibadah yang bersifat personal dan sekaligus sosial. Bersifat personal, dikarenakan puasa merupakan bentuk pencerahan batin (Tarbiyatul Qolbi). Hati yang telah tercerahkan akan berbinar cahaya (nur) sehingga dia mengetahui secara jelas (karena diterangi cahaya), mana yang hak dan mana yang batil.

Puasa akan melahirkan kejujuran, amanah dan menumbuhkan semangat pelayanan (sense of servitude) yang sangat tinggi. Penghambaan dirinya kepada Allah yang dinyatakan setiap hari minimal 17 kali (iyyaka na'budu) diterjemahkannya dalam bentuk perilaku yang aktual dengan cara menunjukkan sikap pelayanan yang bertanggung jawab (stewardship). Ini semua bermula dari niat yang disertai dengan ilmu dan arah yang benar. Nabi bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa dengan iman dan penuh perhitungan, akan diampuni dosa-dosanya."

Dari hadis ini tampaklah bahwa iman merupakan dasar dipasangnya niat yang disertai ihtishab sebagai proses penelitian bahkan menguji diri sendiri (self examination). Sehingga, kualitas niat berpuasa akan melahirkan dua hal besar yang akan merubah sikap hidupnya. Pertama, niat berpuasa karena rasa cinta dan rindu yang teramat sangat untuk menghadirkan wajah Allah, sehingga mereka hanya memalingkan seluruh harapan dan tindakannya untuk selalu berpihak di jalan Allah (Al Shirath Al Mustaqiim).

Kedua, mereka mewujudkan niatnya tersebut dalam bentuk sikap hidup sederhana bahkan melatih untuk hidup berkekurangan, sebagaimana doa Rasulullah: "... Yaa Allah, jadikanlah hamba kenyang sehari dan lapar sehari. Agar pada saat perut kenyang, hamba mau bersyukur, dan ketika lapar hamba menjadi orang yang sabar."

Para assabiqqunal awwalun (path finder) menjadikan sikap hidup sederhana (wara') sebagai hiasan perilaku hidupnya. Pada suatu saat Umar bin Khattab ditanya, "Kenapa Anda makan gandum yang kasat dan berpakaian sangat sederhana. Dan Anda hanya minum air putih setiap hari, padahal Anda adalah Al Farouk-Pemimpin umat yang besar?" Umar bin Khattab menjawab: "Aku menjadi pemimpin ini dipilih oleh rakyat, di antara mereka masih banyak yang hidup sangat sederhana bahkan dalam keadaan miskin. Tidak pantas seorang yang dipilih rakyat, makan dan minum serta berpakaian melebihi rakyatnya!"

Puasa telah melahirkan pribadi-pribadi yang berakhlak mulia (noble paragon). Puasa telah melahirkan tipikal para pemimpin masa lalu yang hidup sederhana bahkan berkekurangan, karena dia menjaga diri (iffah) agar tidak diperbudak oleh dunia. (agi)

(Toto Tasmara)
http://www.republika.co.id/launcher/view2/mid/161/news_id/4315