Jumat, 31 Oktober 2008

HAKEKAT KEBENARAN

HAKEKAT KEBENARAN

Mencari hakekat kebenaran mungkin sering kita ucapkan, tapi susah dilaksanakan. Makhluk apa itu kebenaran juga kita kadang masih nggak ngerti. Yang pasti bahwa “benar” itu pasti “tidak salah” . Pertanyaan-pertanyaan kritis kita di masa kecil, misalnya mengapa gajah berkaki empat, mengapa burung bisa terbang, dsb kadang tidak terjawab secara baik oleh orang tua kita. Sehingga akhirnya sering sesuatu kita anggap sebagai yang memang sudah demikian wajarnya (taken for granted). Banyak para ahli yang memaparkan ide tentang sudut pandang kebenaran termasuk bagaimana membuktikannya. Saya mencoba ulas masalah hakekat kebenaran ini dari tiga sudut pandang yaitu: kebenaran ilmiah, kebenaran non-ilmiah dan kebenaran filsafat.
Harus kita pahami lebih dahulu bahwa meskipun kebenaran ilmiah sifatnya lebih sahih, logis, terbukti, terukur dengan parameter yang jelas, bukan berarti bahwa kebenaran non-ilmiah atau filasat selalu salah. Malah bisa saja kebenaran non-ilmiah dan kebenaran filsafat terbukti lebih “benar” daripada kebenaran ilmiah yang disusun dengan logika, penelitian dan analisa ilmu yang matang. Contoh menarik adalah kasus patung Kouros yang telah diteliti dan dibuktikan keasliannya oleh puluhan pakar selama lebih dari 1,5 tahun di tahun 1983, bahkan juga dianalisa dengan berbagai alat canggih seperti mikroskop elektron, mass spectrometry, x-ray diffraction, dsb. Namun beberapa pakar lain (George Despinis, Angelos Delivorrias) menggunakan pendekatan intuitif sebagai ahli geologi dan mengatakan bahwa patung tersebut palsu (terlalu fresh, seolah tidak pernah terkubur, kelihatan janggal). Akhirnya patung itu dibeli dengan harga tinggi oleh museum J. Paul Getty di California dengan asumsi kebenaran ilmiah lebih bisa dipertanggungjawabkan. Kenyataan kemudian membuktikan bahwa semua dokumen tentang surat tersebut palsu, dan patung itu dipahat disebuah bengkel tempa di Roma tahun 1980. Cerita ini menjadi pengantar buku bestseller berjudul Blink karya Malcolm Gladwell.
KEBENARAN ILMIAH
Kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koresponden, koheren.
• Kebenaran Pragmatis: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki kegunaan/manfaat praktis dan bersifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, Yadi mau bekerja di sebuah perusahaan minyak karena diberi gaji tinggi. Yadi bersifat pragmatis, artinya mau bekerja di perusahaan tersebut karena ada manfaatnya bagi dirinya, yaitu mendapatkan gaji tinggi.
• Kebenaran Koresponden: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya, Jurusan teknik elektro, teknik mesin, dan teknik sipil Undip ada di Tembalang. Jadi Fakultas Teknik Undip ada di Tembalang.
• Kebenaran Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contohnya, seluruh mahasiswa Undip harus mengikuti kegiatan Ospek. Luri adalah mahasiswa Undip, jadi harus mengikuti kegiatan Ospek.
KEBENARAN NON-ILMIAH
Berbeda dengan kebenaran ilmiah yang diperoleh berdasarkan penalaran logika ilmiah, ada juga kebenaran karena faktor-faktor non-ilmiah. Beberapa diantaranya adalah:
• Kebenaran Karena Kebetulan: Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah. Tidak dapat diandalkan karena kadang kita sering tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Namun satu atau dua kebetulan bisa juga menjadi perantara kebenaran ilmiah, misalnya penemuan kristal Urease oleh Dr. J.S. Summers.
• Kebenaran Karena Akal Sehat (Common Sense): Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercayai dapat memecahkan masalah secara praktis. Kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat ini. Penelitian psikologi kemudian membuktikan hal itu tidak benar.Â
• Kebenaran Agama dan Wahyu: Kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan Rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tapi sebagian hal lain tidak.
• Kebenaran Intuitif: Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang. Contohnya adalah kasus patung Kouros dan museum Getty diatas.
• Kebenaran Karena Trial dan Error: Kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi dan paramater-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Memerlukan waktu lama dan biaya tinggi.
• Kebenaran Spekulasi: Kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang. Dikerjakan dengan penuh resiko, relatif lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-error.
• Kebenaran Karena Kewibawaan: Kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang. Seorang tersebut bisa ilmuwan, pakar atau ahli yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam suatu bidang ilmu. Kadang kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar tapi juga bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.
KEBENARAN FILSAFAT
Kebenaran yang diperoleh dengan cara merenungkan atau memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, baik sesuatu itu ada atau mungkin ada. Kebenaran filsafat ini memiliki proses penemuan dan pengujian kebenaran yang unik dan dibagi dalam beberapa kelompok (madzab). Bagi yang tidak terbiasa (termasuk saya ) mungkin terminologi yang digunakan cukup membingungkan. Juga banyak yang oportunis alias menganut madzab dualisme kelompok, misal mengakui kebenaran realisme dan naturalisme sekaligus.
• Realisme: Mempercayai sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri dan sesuatu yang pada hakekatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.
• Naturalisme: Sesuatu yang bersifat alami memiliki makna, yaitu bukti berlakunya hukum alam dan terjadi menurut kodratnya sendiri.
• Positivisme: Menolak segala sesuatu yang di luar fakta, dan menerima sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Tolok ukurnya adalah nyata, bermanfaat, pasti, tepat dan memiliki keseimbangan logika.
• Materialisme Dialektik: Orientasi berpikir adalah materi, karena materi merupakan satu-satunya hal yang nyata, yang terdalam dan berada diatas kekuatannya sendiri. Filosofi resmi dari ajaran komunisme.
• Idealisme: Idealisme menjelaskan semua obyek dalam alam dan pengalaman sebagai pernyataan pikiran.
• Pragmatisme: Hidup manusia adalah perjuangan hidup terus menerus, yang sarat dengan konsekuensi praktis. Orientasi berpikir adalah sifat praktis, karena praktis berhubungan erat dengan makna dan kebenaran.
REFERENSI
1. Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Agustus 2003.
2. Sulistyo-Basuki, Metode Penelitian, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, April 2006.
3. Logika, http://id.wikipedia.org/wiki/Logika
4. Penalaran, http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran

by Romi Satria Wahono
http://romisatriawahono.net/2007/02/20/hakekat-kebenaran/

Selasa, 28 Oktober 2008

KISAH NYATA ORANG YANG MEMILIKI JIWA BESAR

KISAH NYATA ORANG YANG MEMILIKI JIWA BESAR

MediaMuslim.Info - Banyak sekali contoh dari para umat terdahulu yang sholeh yang patut kita teladani berkaitan dengan sifat ‘afuu. Di sini tidak digunakan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagi contoh karena beberapa sebab. Pertama adalah bahwa akhlak Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah akhlak Al-Quran, sebagaimana yang disampaikan oleh Ummul Mu’minin A’isyah RadhiAnha, كَانَ خُلقُهُ القُرْاَنَ ”sunguh akhlak beliau (Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam) adalah al-Quran.” Karena akhlak beliau adalah Al-Quran, maka jelas kita meyakini bahwa dari sisi akhlak beliaulah yang paling mulia, paling lapang dada dan berjiwa besar. Sebab kedua agar orang tidak beralasan bahwa Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dapat bersifat lapang dada dan berjiwa besar dan mudah memaafkan karena beliau adalah rasul, maksum dan telah disucikan oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, telah disucikan dari bagian setan, telah dibersihkan dadanya dari bagian-bagian syaitan ketika beliau masih kecil dan ketika isra’ dan mi’raj. Hal ini kemudian dijadikan alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan salahnya.
Oleh sebab itu kami ambil contoh dari para pendahulu umat yang sholeh agar orang tidak beralasan dengan alasan-alasan tersebut. Dan agar kita dapat mengukur seberapa jauh akhlak kita dibanding dengan akhlak mereka. Yang paling penting adalah kita merubah akhlak kita tidak perlu kita melihat contohnya dari siapa. Artinya walaupun contohnya bukan dari Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang paling penting adalah kita mencoba merubah akhlak kita.
Cobalah kita menguji bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbeda dengan kita, berbeda dalam aqidah, berbeda dalam manhaj, apakah sikap setiap kita sepeti yang dicontohkan oleh para pendahulu umat yang sholeh? Sekarang kita lihat orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, maka sebagimana keyakinan ahlusunnah wal jamaah kita tidak boleh memberikan wala’ sedikitpun kepada orang tersebut. “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” (QS. Al Mujaadilah:22).
Berbeda dengan orang yang pada dirinya masih terdapat amal shalih dan amal syaiyi’ (amal yang tidak baik), yang terkumpul di dalamnya subhat, bid’ah, kesesatan atau syahwat, terkumpul di dalamnya kebaikan dan maksiat, maka wala’ dan baro’ kita terbagi, tidak di-wala’ 100% dan juga tidak di-baro’ 100% . Kita tidak baro’ 100% dan tidak juga wala’ 100% untuk orang seperti ini karena aqidah ahlusunnah wal jama’ah dalam masalah seperti ini kita mencintai seseorang sesuai dengan kadar keimanannya dan itiba’nya pada sunnah, dan kita benci pada orang yang sama sesuai dengan kadar penyimpangannya dari syariat ini.
Inilah yang kadang-kadang menjadi rancu pada sebagian orang ketika bermuamalah terhadap orang lain yang berbeda. Yang seharusnya diberikan sikap yang menjadi aqidah ahlusunnah wal jama’ah terhadap orang yang didalamnya ada keimanan dan maksiat, ada keimanan dan ada bid’ah, ada keimanan dan syubhat, maka wala kita tidak diberikan 100% dan tidak juga ditinggalkan 100%, yang diberikan wala’ 100% hanya kepada orang yang beriman dengan sempurna, akan tetapi terhadap orang yang beriman yang didalamnya masih tercampur amal yang shaleh dan amal yang tidak shaleh, masih ada dalam dirinya bid’ah maka wala’ kita tidak diberikan 100%. Kita mencintai seseorang sesuai dengan kadar keimanan dan itiba’nya terhadap sunnah, dan kita benci sesuai dengan kadar penyimpangannya dari sunnah. Inilah yang digunakan alasan sebagian orang untuk membela dirinya dengan menghatasnamakan dien dengan mengatasnamakan agama dengan mengatasnamakan sunnah.
Sekarang kita lihat contohnya dari Imam Ahmad, imam ahlu sunnah wal jama’ah, yang beliau dirantai dan disiksa dari satu penjara ke penjara yang lain, beliau disiksa di siang hari di bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Dimasukkan ke dalam penjara sementara darah masih menetes dari tubuhnya pada saat fitnah khalqil Quran (para ahlu bid’ah dan penguasa memaksa Imam Ahmad untuk mengatakan “Al Quran Makhluk”, padahal Al Quran bukan makhluk akan tetapi Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala). Kita perhatikan belaiu, ketika beliau marah, marahnya bukan untuk membalas, belaiu marah bukan untuk hawa nafsunya akan tetapi marahnya karena Alloh Subhanallohu wa Ta’ala I. Belaiu mengatakan ”semua yang pernah membicarakanku meka mereka semua halal dan aku maafkan semua. Dan aku memaafkan Abu ishaq, (Raja Muktasim yang telah memenjarakan dan menyiksa belaiu dengan siksaan yang berat).” dan kemudian beliau mengatakan “aku maafkan Abu Ishaq, aku melihat melihat firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya:“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mengampunimu?” (QS. An Nuur:22).
Tidakkah kita melihat bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, Maha Pengampun lagi Maha Pemurah. Jadi, ini menunjukkan bagaimana Alloh Subhanallohu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hambanya untuk memberi maaf kepada orang lain. Rasullloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar untuk memafkan pada kisah tuduhan palsu pada ‘Aisyah RadhiAllohu ‘Anha yang dituduh oleh orang munafiqin melakukan perbuatan zina dengan salah seorang sahabat.
Apa manfaatnya bagi kita, Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mengadzab seseorang hanya untuk kepentingan kita? untuk memuaskan kepentingan kita dan membalas dendam kita?
Imam Ahmad setelah disiksa, tidak pernah membuka lagi catatan-catatan yang dulu ketika beliau disiksa. Beliau tidak ingin mengingat lagi orang-orang yang dahulu pernah terlibat terhadap penyiksaan beliau. Beliau tidak pernah mengingat lagi “Si fulan yang dulu mengejek saya , Si fulan yang dulu begini dan begini”. Beliau tidak membuat perhitungan dengan orang-orang tersebut, beliau memaafkan semua orang-orang tersebut.
Contoh yang lain adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang dianggap kafir dan difatwakan bahwa darahnya halal oleh para ulama pada zamannya. Beliau dimasukkan dari satu penjara ke penjara yang lain kemudian disiksa dari waktu ke waktu. Kemudian setelah beliau keluar dari penjara beberapa ahlu bid’ah dan orang-orang yang ingin membela beliau datang meminta maaf kepada beliau.
Salah satu musuh beliau adalah seorang ulama dari madzhab maliki dengan nama Ibnu Makhluf. Ibnu Makhluf wafat pada masa Ibnu Taimiyah. Salah satu Murid Ibnu Taimiyah yaitu Ibnu Qayyim mengetahui kematian Ibnu Makhluf. Kemudian Ibnu Qoyyim bersegera datang menemuai Ibnu Taimiyah menyampaikan kabar gembira ini. Akan tetapi, mari kita lihat reaksi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika melihat muridnya memberitahukan kematian musuh besarnya, kita lihat apakah beliau sujud syukur? Apakah beliau mengatakan ‘Alhamdulillah’ maha suci Alloh Subhanallohu wa Ta’ala yang telah menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya’? Tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang, Syaikhul Islam dengan musuh besarnya yaitu Ibnu Makhluf ketika Ibnu Makhluf meninggal beliau tidak sujud syukur, tidak mengucapkan kalimat-kalimat yang menggambarkan kebenciannya. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang, begitu bencinya kepada seseorang sehingga ketika mendengar kematian seseorang yang dibencinya sampai mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tidak layak diucapkan oleh seorang muslim.
Syaikhul Islam memarahi Ibnul Qoyyim kemudian mengingkari perbuatannya karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh besar beliau, dan beliau mengucapkan kalimat istirja’, “inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un“. Kemudian beliau langsung mendatangi rumah Ibnu Makhluf, berta’ziah dan kemudian mengatakan kepada keluarga, anak dan istri Ibnu Makhluf, “sesungguhnya sekarang status saya seperti bapak kalian”. “Tidak ada sesuatu pun yang kalian butuhkan melainkan saya akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian.” Akhirnya mereka, keluarga Ibnu Makhluf, senang dan mereka mendoakan Syaikul Islam.
Ini kita lihat musuh besarnya. Dan kita lihat kalau sesorang itu musuh besar Ibnu Taimiyah pasti orang ini aqidahnya tidak benar. Tetapi ketika meningggal, Syaikhul Islam mendatangi rumahnya dan menyampaikan bahwa mulai hari ini semua kebutuhan keluarganya menjadi tanggungan Syaikhul Islam. Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti ini? Siapa diantara kita yang bisa ketika musuhnya meninggal dia mendatangi keluarganya, mendatangi anak-anaknya kemudian berta’ziah kepada mereka? Siapa diantara kita yang bisa sampai mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan yang kalian butuhkan melainkan saya akan memenuhi kebutuhan kalian? Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti itu? Hanya orang-orang yang berjiwa besar. Bahkan kalau kita mau jujur, tidak hanya itu, bahkan kepada teman dekat pun kita belum bisa berbuat seperti itu apalagi kepada musuh.
Sekarang kalau kita mau jujur, jangankan musuh, kepada teman kita saja tidak seperti itu. Ini bukti kalau ukhuwah kita jelek sekali. Kalau teman kita ada yang terkena musibah seperti itu, diantara kita siapa yang bisa berlaku dan berbuat seperti itu? Ada teman yang keluarganya meninggal, coba adakah diantara kita yang datang kepada keluarganya dan mengatakan ’saya akan memenuhi kebutuhan kalian.’
Betul Syaikul Islam mendatangi orang yang telah menfatwakan tentang kafirnya Syaikhul Islam. Artinya ia sangat mememusuhi Syaikul Islam. Jika kita katakan dia ahli bid’ah, tentu sifat-sifat ini ada pada diri Ibnu Makhluf. Akan tetapi beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersikap lebih besar dari itu artinya bukan orang yang berjiwa kerdil.
Ayyuhal Ikhwan, seandainya kita berakhlak dengan akhlak seperti ini tentu kita bisa banyak meraih hati orang. Tetapi kadang kita memperlakukan mereka (orang yang berbeda dengan kita atau orang yang menyakiti kita) dengan perlakuan sebagaimana ayat-ayat yang Alloh Subhanallohu wa Ta’ala tegaskan bahwa ini adalah ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafiqin. Tidak boleh kita Istigfar untuk mereka, tidak boleh kita menyolatkan mereka, tidak boleh kita menguburkan mereka. Hukum-hukum itu (tidak boleh memintakan ampun, menyolatkan, dan mendatangi penguburannya), kita terapkan kepada orang yang tadi kita sebutkan.
Kadang-kadang kita bermuamalah dengan sebagian kaum muslimin dengan muamalahnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, muamalah dengan orang munafiqin. Artinya kita menjadi orang-orang yanag asyida’ alal Mu’minin, ‘orang yang sangat kasar kepada orang mukmin.’ Kita menjadi orang-orang yang sangat kasar kepada ahlu iman padahal Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mensifati orang-orang mukmin dan para shabat yang bersana Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang yang Asyida’ ‘alal kuffar, ruhamaa’u bainahum. Kita menjadi orang yang terbalik, kepada orang-orang yang beriman kasarnya luar biasa kemudian kepada orang-orang kafir tidak bersikap kasar.
Kita lihat bagaimana Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang sudah aklaknya mulia sekali masih Alloh Subhanallohu wa Ta’ala perintahkan untuk bersikap lembut. “Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”
Ayat ini diturunkan kepada nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam bukan kepada yang lain, artiya juga menjadi pelajaran bagi yang lain. Jika saja Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam berbuat kasar tentu orang akan lari darinya apalagi bukan rasul. Yang Rasul ini banyak pendukungnya untuk kemudian diterima dakwahnya, beliau dapat wahyu, beliau ma’sum dan beliau memiliki akhlak yang mulia, beliau ini dan itu, itu saja masih kemudian diperintahkan untuk bersikap lemah lembut, sampai Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sampaikan firmanNya yang arinya: “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal duniawiah yang lain). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakallah kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala (QS. Al Imran:159).
Sekarang mari kita lihat lagi contoh yang ketiga yakni dari Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketika berhubungan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay ini adalah tokohnya kaum munafiqin di masa Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Semua orang tahu bahwa Abdullah bin Ubay ini adalah ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, bagaimana sikapnya terhadap Islam, ketika dalam perang Muraysi’ dia mengatakan “perumpamaan kita dengan Muhammad dan para shahabatnya adalah seperti kata pepatah ‘سَمِّنْ كَلْبُكَ يَأْكُلُكَ‘ “beri makan terus anjingmu, nanti kalau sudah besar akan memakanmu.” Artinya ketika Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shabatnya kita berikan kesempatan mereka akan menindas kita. Ini kata Abdullah bin Ubay dan orang-orang muanafiq yang bersamanya. Kemudian dia juga mengatakan “jangan kalian infakkan apa yang ada ditangan kalian kepada orang-orang yang bersama Muhammad supaya mereka menjauh dari Muhammmad.” Ini perkataan Abdullah bin Ubay, dan ini hanya sebagian dari sikap mereka kepada Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, agar mereka jangan diberikan apapun dan agar mereka keluar dari Madinah.
Coba kita perhatikan ketika Abdullah bin Ubay ini meninggal apa yang dilakukan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam? Beliau mendatangi kuburnya, memberikan pakaian beliau kepada putranya, dan kemudian memberikan kain untuk dijadikan kafan untuk Abdullah bin Ubay. Ini ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, jelas-jelas orang munafiq, bahkan dengan nash, Rasulullah datang ke kuburnya. Kemudian kita lihat ini bukan orang munafiq biasa tapi ra’sul munafiqin, tetapi dia masih diberikan kain kafan, didatangi kuburnya dan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Coba bayangkan, beliau mendatangi kuburnya dan memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala untuk imamnya orang-orang munafiq, sampai turun firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala yang melarang Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk memintakan ampun. Artinya kita lihat kemuliaan jiwa Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk memintakan ampun kepada orang yang selama ini menyakiti beliau. Kalau sendainya itu terjadi pada kita mungkin kita akan kemudian mengatakan “mampus, biar sekalian mati”, akan tetapi beliau memintakan ampun, baru setelah turun larangan memintakan ampun untuk orang-orang munafiq dan orang kafir, yang artinya:”Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sekali-kali tidak akan merberi ampun kepada mereka” (QS. At taubah:80).
Berkenaan dengan ayat ini beliau bersabda yang artinya, “Seandainya saya tahu kalau seandainya saya beristighfar lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, saya akan melakukan lebih dari tujuh puluh kali” atau sebagaiman sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ini kepada imamnya orang-orang munafiq, seandainya beliau memintakan ampun libih dari tujuh puluh kali akan diampuni, niscaya beliau akan melakukannya. Kita lihat akhlak Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam terhadap imamnya orang-orang munafiq, kepada orang yang sudah lama sekali mengganggu dan menyusahkan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang bersama beliau. Orang inilah yang telah membuat tuduhan palsu kepada ‘Aisyah radhiAllohu ‘Anha, dia juga yang menuduh kehormatan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Coba kita lihat pada orang yang seperti ini beliau masih mau mendatangi kuburnya, kemudian memberikan kain kafan kemudian memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Siapa diantara kita yang bisa berjiwa besar seperti ini?
Tapi juga jangan difahami bahwa kita ingin mengaburkan aqidah wala’ wal bara’ seperti yang telah kita sebutkan di depan. Artinya harus difahami aqidah wala’ wal bara’, mana yang dinamakan aqidah wala’ wal bara’, bagaimana sikap Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para pendahulu umat yang sholeh berkaitan dengan orang-orang yang berbeda atau menyimpang. Harus dibedakan antara wala’ dan bara’ dengan hawa nafsu kita. Al wala’ wal bara’ jalas ada dalam hati kita. Sikap terhadap orang, kemudian hawa nafsu kita juga sesuatu yang lain adalah dua hal yang harus dibedakan.
Dai tidak pantas memiliki sifat-sifat seperti ini. Kalau dai seperti ini, merusaknya lebih besar daripada memberi manfaat. Mendoakan kejelekan pada Si fulan pada sepertiga malam terakhir, kemudian melaknat Fulan, kemudian mencaci maki Fulan kemudian menyatakan bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala tidak mungkin memberikan ampun kepadanya. Orang yang seperti ini lebih pantas memperbaiki dirinya sendiri, baru memperbaiki orang lain. Karena bisa jadi merusaknya lebih besar daripada memberikan kemaslahatan bagi orang lain. Karena dia sendiri belum berhasil memperbaiki dirinya, memperbaiki jiwanya sehingga ketika dia memperbaiki orang lain tentu akan lebih susah. Artinya berurusan dan bermasalah dengan Si Fulan kemudian bermusuhan dengan orang lain dan seterusnya.
Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sakit menjelang wafatnya, dan sakitnya ini bukan dirumah sakit tetapi sakitnya di penjara, beliau dilarang melakukan semua aktivitas sampai kemudian tidak diberikan pena untuk menulis, dilarang diberikan pena, walau demikian beliau tetap menulis memberikan fatwa kepada kaum muslimin dengan mengunakan arang sampai akhirnya beliau dilarang untuk menulis, segala aktivitasnya diawasi dan disampaikan oleh ahlu bid’ah kepada penguasa.
Suatu ketika sebagian orang yang menjadi ahlu bid’ah ini mendatangi Syaikhul Islam di dalam penjara kemudian meminta maaf kepada Syaikhul Islam, karena mereka menjadi sebab Syaikul Islam masuk penjara. Kita lihat bagaimana beliau berjiwa besar, beliau mengatakan “إِنِّي أَحْلَلْتُكَ ” ’saya telah maafkan Anda, saya juga sudah memaafkan Raja Nashir yang memenjarakan saya.’ Beliau memaafkan orang yang memasukkan beliau ke penjara, orang-orang yang menjadi sebab beliau masuk penjara beliau maafkan semua.
Kisah yang lain yang menceritakan tentang Syaikhul Islam adalah ketika Raja An-Nashir tadi pemerintahannya berhasil digulingkan oleh Raja Al Mudhaffar. Ulama ulama yang tadinya bersama Raja Nashir ini bergabung dengan Raja Al Mudhaffar. Kita lihat bagaimana orang-orang yang cari keuntungan, cari selamat, kemudian bergabung bersama Raja Al Mudhaffar. Ternyata tidak beberapa lama kemudian Raja Nashir berhasil merebut kembali kekuasaannya. Ulama-ulama yang tadi, para Qodhi dan para Fuqaha tadi dihadapkan kepada raja Nashir.
Bisa dibayangkan tadinya membela sekarang menjadi musuh, sekarang begitu berkuasa lagi dipanggail semua, dihadapkan kehadapannya. Wallahu A’lam

Nopember 21, 2006 pada 1:56 am (Akhlaq, Akhlaq Muslim, Iman, Islam, Mukmin, Muslim, Situs Islam, Tauhid, www.mediamuslim.info)
http://akhlaqmuslim.wordpress.com/2006/11/21/kisah-nyata-orang-yang-memiliki-jiwa-besar/

Meraih Keselamatan, Menangkal Bencana

Aug 22
Meraih Keselamatan, Menangkal Bencana
Kategori Doa
oleh : Abu Bakar bin Muhammad Ali al-Atsari


Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ‘afiat di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon ampunan dan ‘afiat dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku dan berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allah, jagalah aku dari depanku, belakangku, kananku, kiriku, atasku, dan aku berlindung dengan kebesaran-Mu dari terbenamnya aku dari arah bawahku.
(Dikeluarkan oleh Abu Dawud: 5074, Ibnu Majah: 3871, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih ibnu Majah:3121)
‘Afiat adalah keamanan yang diberikan Allah bagi hamba-Nya dari segala adzab dan bencana dengan menghindarkannya dan menjaganya dari semua jenis musibah, penyakit, kejelekan, dan perbuatan dosa (lihat Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar oleh Syaikh Abdurrozzaq al al-Badr, hlm. 28 )
FAEDAH :
1. Ibnu Umar radiyallaahu ‘anhu, tatkala menghadirkan hadits ini berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa ini ketika pagi dan sore hari. ”
2. Urgensi dan keutamaan do’a ini ditandai tatkala Abbas radiyallaahu ‘anhu, paman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, pernah meminta kepada beliau do’a yang dengannya ia memohon kepada Allah maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya) :
“Wahai Abbas paman Rasulullah, mintalah afiat di dunia dan akhirat”
(HR. Tirmidzi : 3514, lihat Shohih Tirmidzi : 2790).
Berkata al-Mubarokfuri rahimahullah: ” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menempatkan pamannya pada posisi bapaknya dan beliau melihat hak pamannya sebagaimana hak seorang anak kepada orang tuanya. Dalam pengkhususan beliau dengan sekedar menyuruh pamannya memohon afiat memberikan lecutan motivasi untuk senantiasa membaca doa yang agung ini untuk bertawassul kepada Alloh dengannya dan meminta perlindungan dalam semua urusan.” (Tuhfatul Ahwadzi : 9/348)
Nabi pernah berdiri di atas mimbar pada tahun pertama hijrah lalu beliau menangis kemudian berkata :
“ Mintalah kepada Allah ampunan dan afiat, sesungguhnya seseorang tidaklah dianugerahi setelah keyakinan yang lebih baik dari ‘afiat.”
(HR. Tirmidzi :358, Shohih al-Jami’ : 3632).
Dijelaskan oleh al-Mubarokfuri rahimahullah mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menangis : Ada yang mengatakan bahwa beliau menangis karena ia mengetahui peristiwa yang akan menimpa ummatnya berupa fitnah dan mendominasinya ambisi akan harta dan kedudukan maka beliau menyuruh mereka untuk meminta ampunan dan ‘afiat agar mereka terhindar dari segala macam fitnah.” (Tuhfatul Ahwadzi : 10/3)
3. Sebuah peringatan bagi ummat ini..
Diriwayatkan dari Aisyah rhadiyallaahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Akan menimpa akhir umat ini pembenaman ke bumi, pengubahan bentuk ke bentuk yang lebih jelek dan pelemparan.” Aku (Aisyah) berkata: “Apakah kita dibinaskan sekalipun masih ada orang sholih di antara kami? “ Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika telah merebak kemaksiatan.”
(Dikeluarkan oleh Tirmidzi: 2185, Ibnu Majah:4062, liat Shohih Tirmidzi: 2185).
Dari Shofiyyah rhadiyallaahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Tidak henti-hentinya manusia memerangi kabah ini sampai ada suatu pasukan besar menyerangnya. Tatkala mereka sampai di Baida’ (sebuah tempat yang rata) mereka dibenamkan awal dan akhirnya dan tidak selamat pula di tengah-tengahnya.
(Dikeluarkan oleh Bukhori dalam Kitabul Hajji: 49, lihat Shohih Tirmidzi : 2184 )”
Telah lewat pula pelajaran bagi kita apa yang menimpa Qarun dan pengikutnya, dan seorang Bani Israil yang berjalan dengan ujub ( sombong ) dan memanjangkan pakaian bawahnya hingga ia ditenggelamkan ke dalam bumi sampai hari kiamat ([bisa dilihat dalam - red] HR. Bukhari : 5790)
Wallaahul Musta’an.
~~~Diambil dari Majalah al-Mawaddah edisi ke–8 tahun ke-1, hal 20 dalam bab “Benteng Diri Muslim” dengan sedikit perubahan yang tidak menghilangkan maknanya~~~.

http://jilbab.or.id/

Senin, 27 Oktober 2008

Menuju Shalat yang Khusyu’

Menuju Shalat yang Khusyu’

Sholat merupakan amal ibadah yang sudah sangat sering kita laksanakan setiap hari. Akan tetapi, seiring dengan seringnya kita melaksanakan ibadah tersebut pernahkan kita merasahan hati yang tentram dan tenang saat melaksanakannya maupun seusai itu? Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan untuk mencapai ketentraman hati sebagai atsar dari sholat yang kita lakukan.
Ikhlas
Hendaknya seseorang memiliki sifat ikhlas dalam melaksanakan sholat, karena kecintaannya kepada Allah, mengharap ridlo-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dia melaksanakannya bukan karena tendensi kepentingan dunia, akan tetapi semata-mata karena mengharap ridlo dan cinta Allah, takut pada azab-Nya, dan mengharap ampunan dan pahala dari-Nya.
Ibnu Al Qoyyim berkata, "Suatu amal tanpa didasari keihlasan dan tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul, bagaikan seorang musafir yang mengisi tasnya dengan kerikil, yang memberatinya dan tidak memberi manfaat baginya."
Adapun rintangan dalam melaksanakan keihlasan adalah rintangan yang sulit diatasi, akan tetapi dengan keihlasan akan diperoleh sesuatu yang diinginkan, dan memberi manfaat yang sangat besar.
Ketulusan dan Kemurnian cinta kepada Allah
Dilakukan dengan cara mengosongkan hati dan memusatkan perhatian untuk menghadap Allah dan melaksanakan sholat dengan sebaik-baiknya serta menyempurnakannya baik lahir maupun batin sholat.
Sholat terbagi dalam bagian lahir dan batin. Bagian lahir adalah perbuatan yang nampak dan ucapan yang terdengar, sedang bagian batinnya adalah kekhusyu'an, muroqobah dan pengosongan hati hanya untuk menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati dan tidak berpaling kepada selain Dia. Hal ini berhubungan dengan keadaan ruh ketika sholat. Sedangkan perbuatan berhubungan dengan badan. Jika tidak terdapat ruh dalam sholat, laksana badan tanpa ruh. Tidakah seorang hamba malu menghadap Tuhannya dalam keadaan seperti ini?
Jika tiba waktu sholat seorang pencinta Tuhannya akan segara melaksanakan sholat dengan tulus untuk menyembah-Nya seperti ketulusan seorang pencinta yang benar-benar mencintai kekasihnya yang memintanya melakukan sesuatu.
Hal ini tidak cukup hanya dengan kesungguhan saja, tapi harus dengan mencurahkan semua kemampuan untuk memperbaiki, menghiasi, membenarkan, dan menyempurnakan dirinya untuk memperoleh posisi dihadapan kekasihnya, sehingga memperoleh ridlo-Nya, dan dan dekat dengan-nya. Jadi, apakah seorang hamba itu tidak malu kepada Tuhan, majikan dan Dzat yang disembahnya saat beramal melakukan dengan tidak benar. Padahal dia tahu bahwa orang yang mencintai Tuhannya senantiasa sibuk untuk memperbaiki dan menyempurnakan sholatnya, karena kecintaan mereka kepada sang Khalik.
Seorang pencinta Allah senantiasa mencintai makhluk Allah, akan tetapi dia lebih memilih mencintai Tuhannya. Seseorang yang mampu intropeksi diri dan tahu akan perbuatan-perbuatannya, dia akan malu mempersembahkan amalnya kepada Allah, atau untuk memohon ridlo-Nya dan dia akan tahu seandainya dia tergolong manusia yang mencintai Allah, niscaya Allah akan mencurahkan cinta-Nya dan senantiasa memberikan kebaikan kepadanya.
Mengikuti petunjuk Rasul SAW
Sudah menjadi kewajiban setiap musim untuk mengerjakan sholat sebagaimana yang telah dilakukan Rasul SAW tanpa melakukan pengurangan yang tidak dilakukan beliau maupun oleh para sahabat. Sebagaimana yang telah terjadi di kalangan umat manusia. Di antara mereka telah melalaikan sunnah Nabi SAW dengan dalih mengikuti madzhab tertentu. Allah tidak membenarkan perbuatan seperti ini, terutama bagi orang yang telah mengetahui sunnah Nabi SAW. Karena Allah telah memerintahkan kita hanya taat Rasul-Nya, bukan kepada yang lain. Yakni taat atas apa yang telah diperintahkan dan meninggalkan perkara yang tidak beliau lakukan. Allah telah bersumpah bukan termasuk orang-orang yang beriman, hingga kita berpedoman kepada Rasul saat terjadi suatu perselisihan, hanya tunduk atas kebijaksanaan beliau, dan memeluk Islam secara keseluruhan. Kebijaksanaan yang tidak berasal dari beliau tidak akan dapat memberi manfaat kepada kita, dan juga tidak akan dapat menyelamatkan kita dari azab Allah. Dan pada hari kiamat sanggahan kita akan ditolak, tatkala Allah menanyai kita
ماذا أجبتم المرسلين
"Apakah jawabanmu kepada Rasul" (QS. Al Qoshos: 65)
Sebagaimana Allah berfirman,
"Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) Rasul-rasul (Kami)." (QS.Al A’raf: 6)
Ihsan
Dalam hal ini berkaitan dengan muqorobah, maksudnya hendaknya seseorang beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Karena jika kita tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kita. Ihsan tumbuh dari kesempurnaan iman kepada Allah, asma dan sifat-sifat-Nya, hingga seseorang seolah-olah dapat melihat Allah berada di atas langit pada Arsy-Nya, memerintah dan melarang, mengatur kekhalifahan, menentukan dan meminta pertanggungjawaban setiap perkara, yang akan diperlihatkan semua perbuatan dan ruh manusia ketika menghadap kepada-Nya. Dalam hati mereka bersaksi terhadap asma dan sifat-sifat Allah, dan bersaksi bahwa Allah Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Bijaksana, Yang Memerintah dan Melarang, mencintai dan marah, dan tidak ada suatu perbuatan, perkataan, dan batin manusia yang tersembunyi dari-Nya, bahkan Dia mengetahui sesuatu yang tidak tampak oleh mata dan yang tersembunyi di dalam dada.
Ihsan merupakan pokok dari semua amal hati. Ihsan mengharuskan adanya kemuliaan, keagungan, ketakutan, kecintaan, penyerahan diri, tawakal dan kerendahan hati kepada Allah SWT, merasa hina di hadapan-Nya, menghilangkan was-was dan hawa nafsu, memusatkan hati dan niat hanya kepada Allah dan mensucikan-Nya sebagaimana yang diucapkan oleh kedua bibirnya.
Keberhasilan seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan kadar ihsan, sebagaimana perbedaan keutaman sholat antara dua orang yang diibaratkan antara langit dan bumi. Meskipun keduanya sama-sama berdiri, ruku’, dan sujud, yang membedakannya adalah hadirnya hati di hadapan Tuhannya. Sebagaimana Firman Allah mengenai gambaran orang yang lalai.
فويل للمصلين. الذين هم عن صلاتهم ساهون
“Maka celakalah bagi orang-orang yang sholat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (QS. Al-Ma'un : 4-5)
Dari Ammar bin Yasir berkata, ”Aku mendengar Rasul SAW bersabda, ’Sesungguhnya seorang hamba melakukan sholat hanya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga dan seperdua dari sholat yang diwajibkan baginya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, dan Abu Daud dengan sanad hasan)
Bersyukur atas karunia Allah
Hendaknya seseorang mengetahui bahwa hanya karena karunia Allah yang menjadikan diri dan keluarganya mendapat posisi di hadapan-Nya, dan menjadikan hati dan badannya menjalankan perintah-Nya. Kalau bukan karena Allah maka semua itu tidak akan dapat terwujud.
Allah berfirman,
“Mereka merasa telah memberi nikmat kapadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, ’Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 17)
Allah SWT yang telah menjadikan seorang muslim menjadi muslim, dan orang yang sholat melaksanakan sholat, sebagaimana yang dikatakan Nabi Ibrahim as.
“Ya Tuhan kami jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (Jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.” (Al-Baqoroh: 128)
“Ya Tuhanku. Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat.” (QS. Ibrahim: 40)
Hanya karena karunia Allah yang membuat seseorang menjadi taat kepada-Nya dan dalam hal ini merupakan nikmat yang paling agung. Allah berfirman,
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53)
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yag mengikuti jalan yang lurus." (QS. Al-Hujurat: 7)
Perkara ini merupakan perkara yang paling agung dan paling bermanfaat bagi seorang hamba. Setiap hamba yang paling tinggi ketauhidannya maka keberhasilan dalam perkara ini akan lebih sempurna. Seseorang jika telah mengetahui bahwa Allah SWT yang telah memberi karunia taufik dan hidayah kepadanya berupa pengetahuan dan amal perbuatan yang mengagumkan. Dia telah menentukan hal tersebut kepada manusia, niscaya akan hilang rasa ujub dari hati dan lisannya dan dia tidak akan mengungkit-ungkit ataupun membanggakan amalnya. Ini merupakan kedudukan amal yang tertinggi.
Merasa rendah
Seorang hamba yang bersungguh-sungguh dan mencurahkan segala usahanya untuk melaksanakan suatu perintah, dia adalah orang yang memiliki keterbatasan dan Allah lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu. Dia lebih layak untuk disembah dengan ketaatan dan penghambaan. Kebesaran dan keagungan-Nya menuntut adanya penghambaan yang sepantasnya. Jika hamba para raja bekerja dengan mengagungkan, memuliakan, penuh rasa malu, keluhuran, rasa takut, dan ketulusan dan memperuntukkan hati dan anggota badan hanya kepada tuannya, maka raja dari para raja, Tuhan lamgit dan bumi lebih layak untuk diperlakukan lebih dari itu semua.
Jika seorang hamba mengetahui dirinya belum menyembah Tuhannya sesuai dengan hak-Nya, maka berarti dia megetahui kekurangan dan keterbatasannya, dan dia tidak mampu melaksanakan apa yang seharusnya menjadi hak-Nya. Maka mengharapkan ampunan atas amal ibadah kepada-Nya lebih dibutuhkan dari pada memohon ampunan dari amal ibadah tersebut. Jika seseorang telah melakukan ibadah dengan benar maka ibadah tersebut sudah menjadi kebutuhannya. Pengabdian dan amal seorang hamba merupakan kewajiban kepada tuannya, apalagi sebagai hamba Allah.
Amal dan pengabdian seseorang sudah menjadi kewajibannya, karena kedudukannya sebagai hamba Allah, jika diberi pahala atas amal dan pengabdiannya, maka hal tersebut semata-mata karena keutamaan, karunia dan kebaikan Allah kepadannya, bukan sebagai hak seorang hamba.
Rasul SAW bersabda, ”Sesungguhnya tidak seorang pun akan masuk surga berdasarkan amalnya. Para sahabat berkata, ‘Tidak jugakah engkau ya Rasulullah?' Beliau menjawab, ’Dan tidak juga aku, kecuali Allah melimpahkan ampunan dan rahmat-Nya kepadaku. (HR. Ahmad, Bukhori, dan Muslim dari Aisyah ra.)
Seseorang yang mengetahui hal ini, maka berarti dia telah mengetahui rahasia dalam amal-amal ketaatan, dan menjadi keharusan baginya mengakhiri semua amalnya dengan memohon ampunan.
Dalam Shahih Muslim dari Tsauban berkata, ”Rasulullah SAW setelah salam dari sholatnya, membaca istighfar tiga kali, dan membaca doa, ’Ya Allah, Engkaulah keselamatan, dari-Mu lah keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, dan An Nasa’i).
Allah berfirman,
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS.Adz-Dzariyat :17-18)
Allah mengabarkan tentang orang-orang yang memohon ampunan sesudah sholat malam, dan Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk membaca istighfar sesudah thawaf ifadhah dalam haji, dan Dia berfirman,
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al-Baqoroh: 199)
Disyariatkan bagi orang yang berwudlu, setelah wudlu berdo’a,
“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri”.
Ini merupakan taubat sesudah wudlu, haji, sholat dan qiyamul lail.
Ringkasnya ini merupakan keadaan seorang hamba terhadap Tuhannya dalam semua amalnya, yang dia tahu bahwa dia tidak mampu memenuhi maqom ini sesuai haknya, maka dia senantiasa memohon ampunan kepada Allah sesudah melakukan semua amal perbuatan. Semakin banyak ketaatannya, maka semakin banyak pula taubat dan istighfarnya. Jika seorang hamba senang melakukan taubat dan sholat dengan tenang, maka akan membekas dalam hati, badan, dan semua tingkah lakunya, dan nampak pada wajah, lisan dan anggota badannya. Dalam hatinya timbul kecondongan kepada akhirat, menjauhi dunia, sedikit tamak pada dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya maka sholatnya telah mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, senang menghadap Allah dan menghindari sesuatu yang dapat menghalanginya dari Allah.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqos ra. Berkata, “Seseorang datang kepada Nabi SAW. dan berkata, ’Ya Rasulullah, berilah aku wasiat.' Rasulullah bersabda, ‘Jangan berharap pada sesuatu yang ada pada diri manusia dan jangan bersikap tamak. Karena itu merupakan kefakiran. Sholatlah yang dengannya kamu mendapatkan ketenangan, dan janganlah kamu meninggalkannya.” (HR. al Hakim dishohihkan dan disetujui olah adz-Dzahabi)
Dari Aisyah istri Rasul berkata, “Aku bertannya kepada Rasul tentang ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mu'minun: 60). Aisyah berkata, “Apakah mereka orang-orang yang minum khomr dan mencuri?” Rasul menjawab, “Bukan wahai putri ash-Shidiq, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, sholat, bershodaqoh, dan mereka takut tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka termasuk orang-orang yang terdahulu dalam kebaikan-kebaikan tersebut.”
(HR. Ahmad 6/159 dan 5, Ibnu Jarir 18/26, Tirmidzi 3175, al-Baghowi dalam tafsirnya 3/312, al Hakim 2/393-394, dishohihkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi)
Hadits ini mengandung dua perkara sebagai berikut.
Terdapatnya keterbatasan dan kekurangan seorang hamba
Kesungguhan cinta, seorang hamba yang benar-benar mencintai dia akan mendekatkan diri pada sesuatu yang dicintainya dengan sekuat tenaga. Dia berharap dan merasa malu menghadap-Nya dengan sesuatu yang ada pada dirinya, sedangkan dia tahu yang dicintainya lebih berkuasa dan lebih agung dari dirinya. Ini merupakan bentuk kecintaan makhluk. Oleh karena itu hendaknya kita berusaha menunaikan sholat sesuai dengan kesempurnaannya secara lahir maupun batin.
Sesungguhnya dalam sholat tersebut terdapat sesuatu yang menakjubkan untuk mencegah keburukan dunia. Tidak ada sesuatu yang dapat mencegah keburukan dunia dan mendatangkan kemaslahatan yang menyamai sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari dosa dan penyakit hati, menolak penyakit pada badan, menyinari hati, mencerahkan wajah, menyemangatkan anggota badan dan jiwa, mendatangkan rizki, menolak kedholiman, menolong yang terdholimi, mengekang bercampurnya syahwat, memelihara nikmat, menolak siksa, mendatangkan rahmat dan menghilangkan kesedihan. Sholat dapat menjaga kesehatan, membahagiakan jiwa, menghilangkan kemalasan, menjaga kekuatan, melapangkan dada, memelihara ruh, mendatangkan barokah, menjauhkan dari syaitan, dan mendekatkan kepada yang Maha Pengasih.
Ringkasnya dalam sholat memiliki pengaruh yang sangat menakjubkan dalam menjaga kesehatan serta kekuatan badan dan hati, menolak unsur-unsur dari keduanya, penyakit, malapetaka atau bala yang menimpa seseorang. Kecuali jika keuntungan yang diperoleh orang yang sholat tersebut sangat sedikit. Rahasia dari semua itu adalah bahwasanya sholat merupakan penghubung dengan Allah Azza wa Jalla. Akan dibuka pintu-pintu kebaikan, diputus sebab-sebab keburukan, dilimpahkan anugerah dari Tuhannya, kekuatan, kesehatan, kemanfaatan, kekayaan, ketenangan, kenikmatan, kebahagiaan dan kesenangan yang kesemuannya akan didatangkan dan segera diberikan kepada seorang hamba sesuai kadar hubungannya dengan Tuhannya.
Seorang hamba di hadapan Allah berada pada dua keadaan. Berada di hadapan Allah pada waktu sholat dan pada waktu bertemu dengan-Nya. Barangsiapa melaksanakan dengan benar pada keadaan yang pertama, maka akan dimudahkan baginya pada keadan yang kedua. Barangsiapa yang lalai dan tidak melaksanakan dengan benar, maka akan dipersulit pada keadaan yang kedua.
Allah berfirman,
“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari. Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka pada hari yang berat (hari kiamat).”
(QS. Al-Insan: 26-27)
Dinukil dan diterjemahkan dari kitab As-Sholah Al-Khosi’ah karya Abdullah bin Abdurrahman Al Jibroin.
Penulis: Siti Hanifah
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Malang, salah seorang mitra asuh yang mendapat bea siswa dari para donator Nurul Huda. Aktif mengikuti kegiatan eksta penerjemahan kitab dan mengajar kelas bahasa arab di Universitas Brawijaya Malang.
Kembali ke atas

Indeks > Artikel > Menuju Shalat Khusyu
Dokumen lain
• Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW (2)
• Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW (1)
• Habib Sholeh Ibn Achmad Ibn Salim Alaydrus: Rajab Bulan Penuh Kemulyaan
• KH. Masduqi Machfudh: Orang Bodoh Gampang Dirayu Syetan
• Kenikmatan Dunia Mengurangi Kenikmatan Akhirat
• Risalah Amaliyah Nahdliyah
• KH. Masduqi Machfudh: Antara Ikhtiar, Doa, dan Khusnul Khatimah
• Ust. Muhsin al-Hamid: Pertemuan Rasulullah dengan Kekasihnya Menghadap Hadirat Allah SWT
• Sumpah Iyla'
• Dzikir untuk Jodoh

Indeks > Artikel > Menuju Shalat Khusyu
http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/menuju_shalat_khusyu.single

Menyantuni Fakir Moral

Menyantuni Fakir Moral

Menjelang Ramadan berakhir, wacana dominan yang selalu muncul ialah seputar menyantuni fakir miskin. Tentu melalui penyaluran zakat dari para muzaki kepada fakir miskin.
Kenapa jarang muncul wacana untuk menyantuni kaum fakir moral? Menyantuni dan meluruskan perilaku orang-orang miskin moral. Tidak memiliki integritas dan pribadi yang bermartabat di hadapan publik.
Terminologi miskin perlu diperluas. Tak hanya tentang warga atau masyarakat yang lemah ekonomi. Mereka yang moralnya "lemah" perlu dimasukkan sebagai penerima "zakat" dalam bentuk lain. Bukan zakat harta atau materi, melainkan "zakat" pemberdayaan moral publik.
Kampanye Perbaikan Sosial
Apa yang dimaksud zakat pemberdayaan moral publik tidak lain ialah gerakan yang mendorong partisipasi dari semua elemen gerakan moral utuk meningkatkan derajat dan martabat berbangsa dan bernegara.
Sekelompok orang yang memiliki otoritas lebih kuat daripada warga kebanyakan, ketika mereka ada pada posisi yang turut menentukan atau membuat kebijakan publik, sering tidak cukup memiliki martabat, kapasitas, dan kompetensi moralitas.
Justru karena itu, mereka tidak cukup dimintai sumpah dan janji ketika diangkat untuk menduduki jabatan publiknya. Kepada mereka, harus pula diberikan "zakat" pemberdayaan integritas kalau rekam jejaknya jelas-jelas masuk kategori fakir moral.
Oleh sebab itu, kampanye moral -penyampaian isu-isu terkait integritas-perlu dikembangkan di bulan Ramadan ini. Wacana bulan Ramadan sebagai bulan suci yang penuh rahmat dan barokah harus diimpelementasikan lebih praksis dalam kehidupan nyata.
Wacana dan aksi-aksi spiritual di saat bulan Ramadan harus diperkaya pula dengan spirit ibadah yang lebih "profan". Misalnya, pendidikan antikorupsi kepada anak-anak sekolah yang sedang mengikuti pondok Ramadan di sekolah atau di pesantren kilat.
Memperkaya acara-acara pondok Ramadan dengan memberikan contoh nyata -melalui gambar dan visualisasi- tentang prosedur tata kelola pemerintahan yang baik juga urgen dilakukan. Ini penting karena pendidian apa pun untuk usia dini dapat mempercepat pembentukan pribadi-pribadi yang bermartabat.
Acara-acara kultum antara tarawih dan witir akan sangat bermanfaat jika diperkaya ajakan-ajakan spiritual yang lebih praksis. Terkait langsung dengan kehidupan sehari-sehari sehingga pada pascapuasa Ramadan, umat dapat langsung merasakan dan melakukannya.
Misalnya, bahaya buruk bantuan langsung tunai (BLT) yang disunat aparat pemerintah bagi kelangsungan umat miskin untuk mempertahankan kelestarian kebutuhan fisik minimum (KFM)-nya.
Dengan demikian, pascaibadah puasa Ramadan, masyarakat memiliki keberdayaan moral dan spiritual bukan hanya menuntut haknya -bagi penerima BTL- juga mereka dapat turut berpatisipasi mengawasi pelaksanaan penyaluran BLT tersebut.
Terpisah
Otokritik perlu dilakukan agar ibadah puasa Ramadan tidak berkutat dengan bobot lebih berat pada ritual dan tata sakral ibadah. Nilai suci ibadah puasa Ramadan harus diperlihatkan pula dengan bobot yang sama berat pada aspek-aspek amaliah muamalat.
Artinya, muslim dan muslimah perlu terus melakukan perbaikan aktivitas keramadanan -tiap tahun selama bulan Ramadan. Intinya, aktivitas Ramadan, pendidikan keislaman, pengajian, pesantren kilat selama Ramadan, kuliah keagamaan- tidak terpisah jauh dari kehidupan publik.
Setelah itu, berbagai pendidikan moral dan spiritual pengisi bulan Ramadan diharapkan tidak hanya melahirkan pribadi muslim dan muslim yang mukmin. Juga dapat melahirkan insan-insan bangsa yang bermatabat dan memiliki moral paripurna.
Dengan begitu, kelak diharapkan tak ada lagi ibadah rajin, amal rajin, zakat rutin, tapi penyimpangan, manipulasi kepentingan publik, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi juga rajin.
Semoga amal ibadah puasa kita di bulan yang penuh ampunan ini diterima Allah Swt. Amin ya rabbal alamin.
* Dr Muhadjir Effendi MAP, rektor Universitas Muhammadiyah Malang.

http://www.pwmjatim.org/BERITA/September/Menyantuni%20Fakir%20Moral.htm

Kamis, 16 Oktober 2008

BUAH DARI KEJUJURAN

BUAH DARI KEJUJURAN

Hudzaifah.org - Pada suatu malam (menjelang dini hari), khalifah Umar bin Khattab r.a. disertai pengawalnya melakukan inspeksi ke pinggiran kota. Beliau mendengar percakapan dua orang wanita, ibu dan anak gadisnya.

Ibu : ”Campur saja susunya dengan air (agar kelihatan banyak peny.)”

Anak : ”Bagaimana saya harus melakukannya sedang amirul mukminin (khalifah Umar) telah mengeluarkan pernyataan yang melarangnya?”

Ibu : ”Khalifah Umar toh tidak mengetahuinya.”

Anak : ”Kalau khalifah Umar tidak mengetahuinya, maka pasti Allah mengetahuinya.”

Percakapan antara keduanya berkesan sekali di hati Umar r.a. Keesokan harinya ia menyuruh pengawalnya menyelidiki kedua wanita itu. Setelah diketahui bahwa putri itu seorang gadis, lalu, Umar memanggil putranya, ’Aashim dan menawarkan gadis itu untuk dinikahinya, dan disuruhnya putranya itu untuk melihat langsung paras wajahnya, seraya berpesan kepadanya, ”Pergilah wahai anakku. Lihatlah gadis itu, nikahilah dia, dan aku berharap dia akan melahirkan seorang pahlawan yang mampu memimpin bangsa Arab.”

Pernikahan pun berlangsung, dan dari mereka lahir seorang perempuan yang dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Kemudian dari pernikahan itu lahirlah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kelima yang sangat adil.

Tepat sekali ramalan Khalifah Umar bin Khattab r.a. Sifat amanat dan kejujuran menjadi penghubung antara Khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. []


Posted by: SangHikmah on Saturday, April 07, 2007 - 05:38
Sumber : Buku ”Hikmah dalam Humor, Kisah dan Pepatah Jilid 1-6”, A. Azim Salim Basyarahil”

http://www.hudzaifah.org/Article477.phtml

kantin kejujuran membuka 'cabang' di luar negeri

kantin kejujuran Kejaksaan Agung akan membuka 'cabang' di luar negeri

JAKARTA - Dalam waktu dekat kantin kejujuran Kejaksaan Agung akan membuka 'cabang' di luar negeri. Jadi tidak usah khawatir bila anda ingin menikmati sajiannya saat sedang berada di Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia, dan Filipina.

Realisasi program ini akan dilakukan dengan metode kerjasama antara Kejagung dengan pemerintah keempat negara di atas.

"Kita juga kemungkinan akan membuka kantin kejujuran di luar negeri bersama negara-negara tetangga, yaitu Brunai, Malaysia, Brunai, dan Singapura," ujar Jaksa Agung Hendarman Supandji disela-sela acara peresmian kantin kejujuran di SMU 42, Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Rabu (15/10/2008).

Kantin kejujuran di empat negara ini, menurut Hendarman, akan diresmikan pada tanggal 8 Desember 2008 atau tepat sehari sebelum Hari Antikorupsi se-Dunia.

Perlu diketahui, kini Kejagung telah memiliki 1.000 kantin kejujuran hasil kerjasama dengan lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru nusantara.

Kantin Kejujuran ini menjual makanan dan minuman yang diletakkan di atas meja tanpa ada penjual yang menjaga. Pembeli yang berkenan mengambil barang dagangan dipersilahkan mengambil sendiri dan memasukkan uang pembayaran sesuai harga yang telah tertera di tabel ke dalam sebuah kotak.

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/15/1/154149

Kantin Kejujuran ke-1.000 di SMU 42

Kantin Kejujuran ke-1.000 di SMU 42

JAKARTA - Prihatin dengan rendahnya tingkat kejujuran, Jaksa Agung Hendarman Supandji meresmikan Kantin Kejujuran ke-1.000 di SMU 42, Jakarta. Program ini diharapkan bisa menanamkan rasa kejujuran sejak dini.

Ratusan pelajar SMU se-Jakarta terlihat berkumpul di lapangan basket SMU 42 untuk menghadiri acara ini. Tampak hadir dalam kegiatan ini Jaksa Agung Hendarman Supandji, Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto, dan sejumlah pejabat lain.

Dalam sambutannya, Hendarman menyatakan program ini dibuat untuk memenuhi kewajiban Kejagung dalam membina kejujuran masyarakat.

"Tujuan kegiatan ini untuk menanamkan watak kejujuran sejak dini karena kita melihat korupsi terus meningkat," ujar Hendarman di SMU 42, Jalan Rajawali Raya, Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Rabu (15/10/2008).

Program semacam ini, kata Hendarman, penting untuk dilakukan karena tingkat ketidakjujuran oknum-oknum juga semakin naik. Parahnya lagi beberapa kalangan membuat stigma korupsi itu wajar.

"Mudah-mudahan dengan adanya kantin kejujuran bisa membuat anak didik kita memiliki sifat yang jujur," ujarnya.

Acara peresmian dilakukan secara simbolik dengan pemakaian topi kantin kejujuran kepada lima orang kepada sekolah oleh Hendarman Supandji. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan penandatanganan prasasti.

Perlu diketahui, program pembuatan kantin kejujuran ini diprakarsai oleh Kejagung. 1.000 kantin yang sudah ada tersebar di berbagai sekolah di seluruh penjuru nusantara.

Kantin Kejujuran ini menjual makanan dan minuman yang diletakkan di atas meja tanpa ada penjual yang menjaga. Pembeli yang berkenan mengambil barang dagangan dipersilahkan mengambil sendiri dan memasukkan uang pembayaran sesuai harga yang telah tertera di tabel ke dalam sebuah kotak.

(ful)
Berita Terkait 'kejagung'
• Kantin Kejujuran Akan Ekspansi ke Luar Negeri
• Prijanto Miris Lihat Jumlah Kantin Kejujuran di DKI

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/15/1/154107/jaksa-agung-resmikan-kantin-kejujuran-ke-1-000

Sabtu, 11 Oktober 2008

AKIBAT MEMPERTUHANKAN HANTU

Akibat Mempertuhankan Hantu
Oleh: Drs. H. Syafri Nadi, LIL.
Imam Muslim dalam sahihnya melaporkan, bahwa Utsman bin Abi Syaibah dan Ishak bin Ibrahim telah mewartakan kepada kami. Ishak berkata, telah mengabarkan kepada kami dan Utsman mengatakan, mewartakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Salim bin Abi Al-Ja’ad dari bapaknya dari Abullah bin Mas’ud berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak seorang pun di antara kalian melainkan sudah didelegasikan (tawkil) atasnya teman permanen (qarin) dari golongan jin.” Mereka (para sahabat) serentak bertanya: “Anda sendiri bagaimana ya Rasulullah”, Beliau menjawab: “Akan halku sendiri terkecuali, karena Allah telah menolongku untuk menghadapinya, maka aku telah selamat, karena ia tidak menyuruhku, melainkan untuk kebaikan. ”) Dan dalam hadits versi Sufyan: “ Sungguh telah diwakilkan kepadanya satu qarin dari kalangan Jin dan satu qarin lagi dari Malaikat. ”
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa dalam hidup ini memang tidak seorangpun di antara kita yang bebas dari teman yang memuji/memberikan kebaikan dan musuh yang mencela/mencelakakan, baik dari kalangan jin maupun dari golongan manusia. Pada hal hikmahnya jin dan manusia dicipta¬kan Allah agar mereka mentauhidkan, menyem¬bah dan bertakwa kepada-Nya, kapan dan dimana saja. Namun di antara manusia dan jin itu banyak yang berprilaku buruk kepada sesama, sehingga kalau orang lain senang, ia susah. Sebaliknya kalau orang lain mendapat kebaikan, ia merasa tidak enak. Dengan kata lain ia senantiasa berprilaku hasad dan bermusuhan.
Iblis dan setan adalah musuh buyutan manusia sejak manusia pertama (Adam dan keluarganya) yaitu ketika di surga dan di bumi ini. Kita sebagai anak cucunya tidak lepas dari tipu daya agar kita terjerumus ke jalan hidup yang sesat dan dimurkai Allah dan menyim¬pang dari jalan lurus. Tapi orang mukmin sejati ditemani Malaikat.
Menurut Qadhi ‘Iyad, ummat Islam telah konsensus (ijmak) atas terpelihara (ma’shum) nya Nabi SAW. dari setan di dalam tubuh, dalam hati dan di dalam lidahnya. Dan hadits ini meng¬isyaratkan agar orang berhati-hati terhadap bahaya fitnah, waswas dan tipudaya teman jahat (qarin), maka ia mengajarkan kepada kita bahwa ia selalu bersama kita, agar kita terpelihara dari padanya sesusai kemampuan.
Dalam hubungan ini Allah telah memperi¬ngat¬kan, “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. (QS. Az-Zukhruf /36) Berpaling dari mengingat Allah ialah ia tidak takut satwah (larangan) dan tidak takut pada hukuman-Nya. Teman jahat yang selalu menyertai itu disebut setan yang selalu menggoda dan menyesatkan.
Dengan demikian jelaslah bahwa qarin adalah setan yang berasal dari jin. Sementara hakekat jin itu adalah makhluk halus yang sebagiannya beriman kepada Nabi Muham¬mad SAW. seperti tertera dalam surat Jin ayat 1 yang artinya, “Katakanlah (hai Muham¬mad) bahwa sekelompok jin telah mendengar¬kan (bacaan Al-Qur`an), lantaran mereka berkata, Sesungguhnya kami telah mendengar Al-Qur`an itu sangat menarik, maka berimanIah kami kepadanya dan kami tidak memperse¬kutukan Tuhan kami dengan suatu apapun”. Sebagian mereka, seperti halnya dengan manusia, banyak yang kafir. Di dalam surat aI-Hijir ayat 26-27, tersebut, “Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah kering (yang berasal) dan lumpur hitam yang diberi bentuk (26). Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas” (27). “Dan ketika Kami berfirman kepada malaikat, “Sujudlah/hormatlah kalian kepada Adam, maka hormatlah mereka (kepada Adam) kecuali iblis, dia adalah dari (golongan) jin yang fasik dari perintah Tuhannya”. Maka bukanlah iblis ayah jin, tetapi sebaliknya bahwa jin itulah ayah iblis; atau yang jelas; iblis itu dari (golongan) jin. Dari itu kita diperintah Allah agar mengadu serta berlindung kepada-Nya dari bisikan-bisikan setan Khannas baik dari golongan jin maupun dari jenis manusia.
Kendatipun jin itu makhluk halus, namun ia dapat menjelma dengan membentuk tubuhnya dalam berbagai rupa yang seram dan menakutkan. Dari sinilah timbulnya apa yang disebut hantu. Istilah ‘Hantu’ tidak terdapat dalam Al-Qur`an dan Hadits, namun hakekat hantu disebutkan dengan menggunakan istilah jin, setan atau qarin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan: Hantu ialah roh jahat (yang dianggap terdapat di tempat-tempat tertentu); Misalnya ungkapan, (a) rupanya seperti hantu (rupanya sangat buruk); (b) disapa hantu, demam sepulang berjalan-jalan (sesudah mandi di sungai) atau sesudah bermain-main di panas matahari; (c) Hantu angin, hantu yg dapat menenggelamkan kapal; (d) Hantu hunian, orang halus yg tinggal di hutan, siluman; (e) Hantu kangkung ngeang- ngeang, hantu yg berasal dari nyawa anak yang mati di perut ibunya ketika hendak lahir; (f) Hantu pocong atau hantu bungkus, hantu yang menyerupai mayat terbungkus kain kafan; (g) Hantu tuyul, hantu peliharaan untuk disuruh mencuri uang pada malam hari; (h) meng¬hantui menimbulkan rasa takut (resah, gelisah): di daerah yg terpencil;(I) menghantui, menyebabkan takut (khawatir, gelisah, dsb); mempertakuti:
Semuanya itu merupakan ‘misteri’, yaitu sesuatu yang masih belum jelas (masih menjadi teka-teki, masih belum terbuka rahasianya), karena tidak bisa dibuktikan secara empiris seperti apa sebenarnya hantu-hantu itu. Memang, telah menggejala dalam masyarakat kita kepercayaan akan hantu itu sehingga hampir setiap hari media elektronik dan media cetak memberitakan atau mengiklankan berbagai kemampuan supra¬natural berupa santet- pelet (sihir) dan lain sebaginya.
Bahkan betapa banyaknya film-film hantu diproduksi dan betapa banyak buku dan majalah diterbitkan demi menangguk uang dan menyesatkan akidah ummat agar menukar imannya kepada hantu. Para produser tahu betul selera pasar dari sebagian orang-orang Indonesia yang doyan pada cerita-cerita yang tidak diketahui ujung-pangkalnya, tapi hanya berdasarkan bisikan dan khayalan-khayalan setan (takhayul dan churafat yang sengaja dibikin-bikin sebagai barang baru dalam agama (bid’ah). Pada hal Iblis dan setan hanya sebatas membisikan kejahatan, tanpa kekuatan fisik, tapi manusia jualah menuruti kehedaknya. Orang yang bertauhid kuat tidak mampu setan menggodanya, sepeti para nabi dan para yang beriman teguh dan bertauhid kukuh.?

RASULULLAH YANG TAWADHU

RASULULLAH YANG TAWADHU

Rasulullah SAW merupakan orang yang sangat luar biasa dalam sikap ketawadhu’annya. Sikap tawadhu’ baginda adalah sikap tawadhu’ orang yang mengenal akan kehebatan Tuhannya. Orang yang selalu bersifat malu terhadap-Nya, selalu menganggungkannya sesuai dengan kadar Maha Agungnya. Baginda selalu tunduk terhadap perintah dan seruan Allah SWT. Beliau adalah orang yang mengetahui kehinaan pangkat, harta dan kedudukan. Lalu ruhnya berjalan bersama Allah dan jiwanya selalu berhijrah ke negeri akhirat. Oleh sebab itu, baginda tidak pernah merasa kagum dengan apa yang telah disenangi oleh penduduk dunia yang fana ini. Dengan demikian, maka beliau telah benar-benar menjadi seorang hamba bagi Tuhannya. Beliau selalu bersikap tawadhu’ terhadap kaum mukminin. Beliau selalu berpihak kepada orang tua renta. Beliau selalu menjenguk orang yang sakit. Beliau selalu mengasihani orang miskin. Beliau selalu membantu orang-orang yang lemah. Beliau suka bersenda gurau dengan anak-anak. Beliau suka bermain-main dengan keluarganya. Beliau sudi berbincang dengan orang biasa yang terdapat di kalangan umat. Beliau mau berteman dengan rakyat jelata. Beliau bersedia duduk di atas tanah. Tidur di atas pasir, bertilamkan tanah, dan berbantalkan tikar kasar yang terbuat daripada pelapah kurma. Beliau merasa puas dengan ketentuan Tuhannya. Beliau tidak pernah tamak terhadap kemasyhuran, kedudukan, atau jabatan yang menggiurkan atau tujuan-tujuan yang bersifat duniawi. Beliau berbincang dengan kaum wanita dengan penuh kelembutan dan ramah tamah. Beliau bercakap dengan orang asing dengan penuh kasih sayang. Beliau selalu belas kasih terhadap masyarakat umum. Beliau selalu tersenyum terhadap para sahabatnya. Baginda selalu bersabda:
Sebenarnya saya adalah seorang hamba biasa; Saya makan sebagaimana seorang hamba makan dan saya duduk sebagaimana cara seorang hamba duduk.
Manakala seseorang melihatnya gemetar karena karismanya, maka baginda berkata:
Tenangkanlah dirimu, sebab saya adalah anak seorang perempuan biasa yang memakan daging dendeng di Mekkah.
Baginda tidak menyukai puji-pujian dan melarang memberikan kepujian yang berlebihan kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
Janganlah sekali-kali kalian memuji yang berlebihan kepadaku, sebagaimana kaum Nasrani memuji Nabi Isa putra Maryam. Sebab aku hanya seorang hamba Allah dan utusannya, maka katakanlah; hamba Allah dan rasul-Nya.
Rasulullah SAW melarang orang berdiri karena memberikan penghormatan kepadanya dan juga baginda melarang umatnya menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan. Baginda duduk di mana majlis itu berada. Beliau selalu bergaul dengan umat manusia, sekanakan beliau adalah bagian dari mereka. Baginda juga selalu memenuhi orang yang menjemputnya dan mengundangnya dalam suatu acara.
Rasulullah SAW bersabda:
Jika seandainya aku diajak untuk memakan kaki kambing niscaya aku akan berkenan, dan jika dihadiahkan kepadaku masakan kaki kambing niscaya aku tetap menerimanya.
Beliau sangat menyukai bergaul dengan kaum fakir miskin. Telah diriwayatkan daripada Rasulullah bahwa baginda telah bersabda:
Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin dan himpunkanlah aku ke dalam golongan orang fakir miskin.
Rasulullah SAW selalu mengharamkan sifat sombong dan congkak dan sangat membenci orang yang bersikap sombong. Baginda bersabda:
Orang-orang yang sombong lagi congkak akan dihalau pada hari kiamat dalam keadaan seperti biji zarrah, yang dikelilingi oleh kehinaan pada setiap tempat.
Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadits qudsi:
Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah pakaian-Ku, maka siapa yang mencabut salah satu daripadanya, maka Aku akan menceburkannya ke dalam api neraka.
Baginda sangat dicintai di kalangan hati para umatnya. Pada suatu hari, seorang budak perempuan meminta pertolongan kepadanya, lalu beliau tidak segan-segan untuk memberikan bantuan kepadanya. Beliau selalu menziarahi Ummu Aiman, sementara dia masih berstatus budak. Manakala utusan ‘Amir bin Sha’sha’ah memberikan puji-pujian kepadanya, dan mereka berkata, “Engkau adalah yang terbaik di antara kami, orang yang terhebat di kalangan kami, pemimpin kami dan anak pemimpin kami.”
Lalu baginda berkata kepada mereka, “Wahai umat manusia! Katakanlah dengan perkataan kalian itu sebagiannya saja dan jangan kalian diperdaya oleh syetan.” Rasulullah SAW juga marah manakala seorang lelaki berkata kepadanya, “Ini adalah kehendak Allah dan kehendakmu.” Lalu baginda berkata, “Celaka engkau! Apakah engkau menyamakan Allah denganku? akan tetapi yang lebih tepat adalah ini adalah kehendak Allah saja.”
Beliau selalu membantu keperluan keluarganya. Beliau menjahit sendiri sandal dan menambal pakaiannya. Beliau memerah susu kambing dan bersedia membantu memotong daging bersama isterinya. Beliau mengambil makanan yang akan disuguhkan kepada tamunya. Beliau selalu menyenangkan orang yang mendatanginya dan beliau selalu menanyakan tentang kabar mereka. Beliau rela bergiliran menunggang kendaraan ketika bersama dengan sahabatnya. Beliau memakai kain wol dan memakan gandum, dan seringkali berjalan tanpa selop. Beliau sering tidur di dalam masjid. Beliau mau menunggang keledai dan membonceng tunggangan di atas kendaraan. Beliau selalu memberikan bantuan kepada para orang lemah dan selalu memeriksa keadaan pasukan yang dikirim tanpa komandonya. Beliau selalu berada di barisan akhir mereka untuk mengamatinya, lalu beliau memberikan bantuan orang yang memerlukan serta menemani orang yang sendirian di antara pasukan yang dikirim itu. Maka shalawat dan salam Allah selalu tercurahkan kepadanya selama lisan selalu mengingatnya, selama utusan masih membawa berita dan selama bangsa manusia dan bangsa jin selalu mengulang-ngulangi tentang cerita kehidupannya.

Ensiklopedia Islam - Sirah
http://kaunee.com/index.php?option=com_content&view=article&id=324:rasulullah-yang-tawadhu&catid=111:sirah&Itemid=84