Senin, 27 Oktober 2008

Menyantuni Fakir Moral

Menyantuni Fakir Moral

Menjelang Ramadan berakhir, wacana dominan yang selalu muncul ialah seputar menyantuni fakir miskin. Tentu melalui penyaluran zakat dari para muzaki kepada fakir miskin.
Kenapa jarang muncul wacana untuk menyantuni kaum fakir moral? Menyantuni dan meluruskan perilaku orang-orang miskin moral. Tidak memiliki integritas dan pribadi yang bermartabat di hadapan publik.
Terminologi miskin perlu diperluas. Tak hanya tentang warga atau masyarakat yang lemah ekonomi. Mereka yang moralnya "lemah" perlu dimasukkan sebagai penerima "zakat" dalam bentuk lain. Bukan zakat harta atau materi, melainkan "zakat" pemberdayaan moral publik.
Kampanye Perbaikan Sosial
Apa yang dimaksud zakat pemberdayaan moral publik tidak lain ialah gerakan yang mendorong partisipasi dari semua elemen gerakan moral utuk meningkatkan derajat dan martabat berbangsa dan bernegara.
Sekelompok orang yang memiliki otoritas lebih kuat daripada warga kebanyakan, ketika mereka ada pada posisi yang turut menentukan atau membuat kebijakan publik, sering tidak cukup memiliki martabat, kapasitas, dan kompetensi moralitas.
Justru karena itu, mereka tidak cukup dimintai sumpah dan janji ketika diangkat untuk menduduki jabatan publiknya. Kepada mereka, harus pula diberikan "zakat" pemberdayaan integritas kalau rekam jejaknya jelas-jelas masuk kategori fakir moral.
Oleh sebab itu, kampanye moral -penyampaian isu-isu terkait integritas-perlu dikembangkan di bulan Ramadan ini. Wacana bulan Ramadan sebagai bulan suci yang penuh rahmat dan barokah harus diimpelementasikan lebih praksis dalam kehidupan nyata.
Wacana dan aksi-aksi spiritual di saat bulan Ramadan harus diperkaya pula dengan spirit ibadah yang lebih "profan". Misalnya, pendidikan antikorupsi kepada anak-anak sekolah yang sedang mengikuti pondok Ramadan di sekolah atau di pesantren kilat.
Memperkaya acara-acara pondok Ramadan dengan memberikan contoh nyata -melalui gambar dan visualisasi- tentang prosedur tata kelola pemerintahan yang baik juga urgen dilakukan. Ini penting karena pendidian apa pun untuk usia dini dapat mempercepat pembentukan pribadi-pribadi yang bermartabat.
Acara-acara kultum antara tarawih dan witir akan sangat bermanfaat jika diperkaya ajakan-ajakan spiritual yang lebih praksis. Terkait langsung dengan kehidupan sehari-sehari sehingga pada pascapuasa Ramadan, umat dapat langsung merasakan dan melakukannya.
Misalnya, bahaya buruk bantuan langsung tunai (BLT) yang disunat aparat pemerintah bagi kelangsungan umat miskin untuk mempertahankan kelestarian kebutuhan fisik minimum (KFM)-nya.
Dengan demikian, pascaibadah puasa Ramadan, masyarakat memiliki keberdayaan moral dan spiritual bukan hanya menuntut haknya -bagi penerima BTL- juga mereka dapat turut berpatisipasi mengawasi pelaksanaan penyaluran BLT tersebut.
Terpisah
Otokritik perlu dilakukan agar ibadah puasa Ramadan tidak berkutat dengan bobot lebih berat pada ritual dan tata sakral ibadah. Nilai suci ibadah puasa Ramadan harus diperlihatkan pula dengan bobot yang sama berat pada aspek-aspek amaliah muamalat.
Artinya, muslim dan muslimah perlu terus melakukan perbaikan aktivitas keramadanan -tiap tahun selama bulan Ramadan. Intinya, aktivitas Ramadan, pendidikan keislaman, pengajian, pesantren kilat selama Ramadan, kuliah keagamaan- tidak terpisah jauh dari kehidupan publik.
Setelah itu, berbagai pendidikan moral dan spiritual pengisi bulan Ramadan diharapkan tidak hanya melahirkan pribadi muslim dan muslim yang mukmin. Juga dapat melahirkan insan-insan bangsa yang bermatabat dan memiliki moral paripurna.
Dengan begitu, kelak diharapkan tak ada lagi ibadah rajin, amal rajin, zakat rutin, tapi penyimpangan, manipulasi kepentingan publik, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi juga rajin.
Semoga amal ibadah puasa kita di bulan yang penuh ampunan ini diterima Allah Swt. Amin ya rabbal alamin.
* Dr Muhadjir Effendi MAP, rektor Universitas Muhammadiyah Malang.

http://www.pwmjatim.org/BERITA/September/Menyantuni%20Fakir%20Moral.htm

Tidak ada komentar: