Selasa, 06 Januari 2009

Pemilu 2009 : Menakar Caleg dan Capres dengan Ilmu "Rijal al-Hadits"

Pemilu 2009 : Menakar Caleg dan Capres dengan Ilmu "Rijal al-Hadits"

Ibnu Musayyab akhirnya ditolak menjadi perawi ( penyampai ) hadits Nabi Muhammad Saw. Walau sudah 'berkampanye' secara meyakinkan tentang hadits Nabi Saw. yang ia ceritakan namun tak urung membuatnya 'lolos' jadi perawi hadits. Usut punya usut ternyata alasan 'gugurnya' Ibnu Musayyab karena ada yang menolak. Orang tersebut menyaksikan dia pernah berbohong. Orang bertanya, kapan, siapa dan dalam hal apa ia berbohong ? Yang memberi kesaksian menjawab, suatu ketika saya melihat Ibnu Mushayyab menggenggam pasir sambil bilang kuuur…kuur. Tak pelak ayam-ayamnya berlarian mendekat, mengira akan diberi makanan. Ternyata Ibnu Mushayyab hanya mengecoh ayam-ayam itu dengan pasir, kemudian menangkapnya. Karena itu, kata orang itu, Ibnu Mushayyab tidak bisa diterima sebagai perawi hadits. Ia pernah berbohong. Hadits yang disampaikannya, bisa jadi juga bohong.
Dalam khasanah Islam ada satu ilmu, namanya ilmu rijal al hadits. Dalam ilmu itu, cerita seperti di atas bukan sebuah lelucon. Ilmu itu adalah salah satu contoh kreatifitas ulama Islam terdahulu yang menunjukkan betapa kecermatan dan kehati-hatian mereka untuk menerima sesuatu yang dikatakan sebagai hadits Nabi saw.
Seorang penyampai hadits, sebelum matan (materi) sebuah hadits disampaikannya, terlebih dahulu diteliti kredibilitasnya. Ada banyak ukuran yang digunakan dan salah satu diantaranya ia bukan pembohong, atau tidak pernah ada kesaksian masyarakat yang menyatakan bahwa suatu ketika ia pernah berbohong.
Tidak hanya berbohong, seorang yang pernah ketahuan, maaf, kencing berdiri saja, sudah diklasifikasi sebagai orang yang tidak pantas sebagai perawi hadits. Begitu ketatnya mereka menilai kelayakan perawi hadits. Orang yang rajin membuka-buka ilmu rijal al hadits pasti akan menemukan sekian banyak contoh lain seperti cerita di atas.
Bagi ummat Islam sekarang, informasi semacam itu sudah semakin terbuka , terutama dengan semakin berkembangnya penerjemahan bermacam bentuk kitab hadits. Ada yang khusus membukukan hadits-hadits palsu atau hadits-hadits lemah, lengkap dengan alasan-alasannya. Dan salah satu diantara alasan itu adalah seperti cerita di atas.
Yang menarik untuk kita renungkan ialah betapa cermatnya umat Islam terdahulu dalam menilai seseorang sebelum ia diterima sebagai perawi hadits. Dan pertanyaannya sekarang, kenapa umat Islam saat ini tidak kreatif dan mampu mengembangkan ilmu rijal al hadits tersebut dalam hal lain, misalnya menilai kredibilitas seseorang sebelum dicoblos menjadi wakilnya di DPD/DPR atau Presiden dalam pemilu besok ?.
Kalau standar ilmu rijal al-hadits ini yang dipakai mungkin tak ada yang layak jadi pemimpin. Misalnya, pernah kencing berdiri, menipu anak kecil dengan permen, memukul kucing, buang sampah (benda) di jalan yang membuat orang lain terhalang, dan lain-lain. Tapi minimal pemilihan yang selektif terhadap calon legislatif (caleg) dan calon presiden, sebagaimana mekanisme yang dipakai dalam ilmu rijal al-hadits tersebut kita lakukan secara cermat, teliti, pilihan rasional, dan visible (berperspektif masa depan). Artinya, jangan lagi mau memilih caleg dan capres hanya karena popularitasnya, kharismanya, keturunannya, massanya, atau mungkin senyum manisnya. Lebih dari itu, yang paling penting justru keberpihakan dan visinya untuk selalu memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dengan semangat ilmu rijal al-hadits, memori kolektif kita harus diputar kembali, agar tidak memilih lagi mereka yang pernah melukai hati rakyat dengan berbagai kebijakan yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja di atas kepentingan bangsa ataupun memiliki cacat moral seperti selingkuh, memalsukan ijazah, korupsi, kolusi, menggusur tanah orang lain, tidak bayar zakat, pemabuk dan sebagainya. Bagi mereka yang baru masuk kusaran kekuasaan lewat jadi caleg dan capres, teliti dan lihatlah visinya, jangan-jangan mau jadi anggota DPR/DPD dan presiden hanya untuk 'cari makan' dan penghidupan yang lebih 'wah' tanpa komitmen kuat memperjuangkan bangsa ini keluar dari krisis multidimensional.
Kita berharap umat Islam dan rakyat Indonesia umumnya, dapat menentukan hak pilihnya secara selektif dalam memilih wakil rakyat di DPR/DPD bahkan dalam pemilihan presiden. Jangan pernah mau memilih politisi yang lebih banyak bergaul dan memihak wong licik daripada wong cilik, karena yang terjadi kemudian adalah kisaran kekuasaan dan kekayaan pada segilintir orang yang tentu saja outputnya melahirkan kebijakan pemerintahan dan kepemimpinan bangsa yang mengabaikan rasa keadilan,kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat banyak.
Bangsa ini, kata Buya Syafii Ma'arif, telah hampir sempurna kehancurannya. Maka, jika pemilu 2009 ini kita salah langkah dengan salah pilih nahkoda bangsa ini maka mari kita sambut kehancuran kita bersama……. Tapi rasanya hidup kita dan bangsa ini terlalu muda untuk di siakan. Karena itu kita jelang perubahan bangsa dengan cermat memilih wakil rakyat dan presiden di pemilu besok. Jika salah pilih orang, maka, seperti kata orang Medan, matilah kita…. Selamat memilih !

Munawwar Khalil
Selasa, 06 Januari 2009
Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta & aktif di MPK PP Muhammadiyah
http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1363&Itemid=9