Sabtu, 17 Januari 2009

Ibu dan Ekonomi Keluarga

Ibu dan Ekonomi Keluarga

Pada 22 Desember, setiap tahunnya bangsa ini memperingati Hari Ibu. Sebuah peristiwa yang sangat penting karena hakikatnya merupakan refleksi penghargaan terhadap peran sentral ibu, baik dalam konteks keluarga maupun dalam konteks kebangsaan. Tidak dapat dipungkiri, seorang ibu memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat besar dan strategis. Bahkan, masa depan sebuah masyarakat dan bangsa sangat ditentukan olehnya.

Melalui rahim ibu yang baik dan amanah, akan lahir generasi penerus yang siap memperbaiki kehidupan umat manusia ke arah yang lebih baik dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya, di tangan ibu yang tidak bertanggung jawab, akan lahir pula generasi yang tidak berkualitas, yang hanya akan menciptakan berbagai kerusakan dan malapetaka di muka bumi.

Ajaran Islam telah menempatkan posisi ibu pada derajat yang sangat tinggi dan mulia. Allah SWT pun telah memerintahkan seluruh hamba-hamba-Nya untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya, termasuk kepada ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah (QS Lukman: 14). Durhaka kepada ibu hanya akan mengundang murka dan azab Allah serta akan membuat kehidupan seseorang jauh dari keberkahan dan kebahagiaan.

Karena itu, dalam momentum dan suasana Hari Ibu ini, ada baiknya jika seluruh komponen bangsa merenungkan kembali peran yang harus dimainkan seorang perempuan dalam rangka membangun kekokohan keluarga.

Bagaimanapun, kekokohan sebuah bangsa sangat bergantung pada kekokohan keluarganya. Karena, ia adalah entitas terkecil yang membentuk sebuah masyarakat. Ketika komponen dasarnya kuat, akan kuat pula keseluruhan struktur bangunannya. Dan, di antara sejumlah persoalan krusial yang perlu mendapat perhatian dalam membangun keluarga yang tangguh dan dinamis adalah masalah pengelolaan ekonomi keluarga.

Secara umum, tugas utama untuk mencari nafkah terletak di pundak laki-laki. Namun, bukan berarti seorang perempuan tidak boleh mencari nafkah. Ia boleh bekerja selama mendapat izin dari suaminya dan selama tidak mengganggu tugas utamanya sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Meski demikian, yang harus diperhatikan adalah jangan sampai pekerjaannya mengalahkan tugasnya dalam mendidik anak. Bagaimanapun, seorang ibu adalah benteng pertahanan terakhir keluarganya. Jika bentengnya hancur, hancur pula tatanan keluarganya. Inilah yang perlu disadari oleh setiap Muslimah karena kualitas seorang anak sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan yang diterimanya.

Prinsip dasar
Masalah ekonomi adalah masalah yang sangat penting bagi setiap keluarga. Karena itu, ajaran Islam telah memberikan sejumlah prinsip dasar yang harus diperhatikan. Di sinilah pentingnya peran seorang istri untuk menjadi partner yang selalu mengingatkan suami untuk senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip tersebut.
Tidak hanya itu, seorang istri pun dapat berperan aktif dalam mengatur dan mengelola keuangan keluarga. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Laily Dwi Arsyianti (2008), terungkap bahwa proses pengambilan keputusan keuangan keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari lebih banyak diserahkan kepada istri. Ini menunjukkan bahwa kaum perempuan memiliki peran yang sangat signifikan.

Prinsip dasar yang pertama adalah hendaknya setiap keluarga mencari rezeki yang halal dan thayyib, termasuk pula bagaimana cara mendapatkannya, apakah sesuai atau bertentangan dengan aturan agama. Hal ini disebabkan rezeki yang halal akan mendorong perilaku yang baik. Sebaliknya, rezeki yang haram akan mendorong perilaku yang buruk. Karena itu, dalam banyak ayat, seperti pada QS [2]: 168 dan QS [5]: 88, Allah SWT memerintahkan manusia untuk selalu memerhatikan aspek halal haram dalam mencari rezeki. Bahkan, pada QS [16]: 114, Allah SWT mengaitkan antara mencari rezeki yang halal dan bersyukur atas rezeki tersebut dengan keimanan seseorang terhadap-Nya. Ketika seseorang memakan rezeki yang haram, pada dasarnya ia telah kufur kepada-Nya.

Kedua, hendaknya setiap penghasilan yang diperoleh, digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan yang penting terlebih dahulu, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Di sinilah letak pentingnya manajemen keuangan keluarga. Jangan sampai pengeluaran keuangan diprioritaskan kepada hal-hal yang kurang esensial. Misalnya, sebuah keluarga lebih rela makan seadanya dan menyekolahkan anak sekadarnya demi memiliki sebuah kendaraan mewah. Jika ini terjadi, orang tua tersebut sesungguhnya telah berlaku zalim kepada anak-anaknya. Dan, dianggap sebagai orang tua yang mengkhianati amanah yang diberikan Allah kepadanya.

Ketiga, perlu diperhatikan efisiensi dan efektivitas setiap item pengeluaran keuangan keluarga. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, ''Ekonomis (sederhana dan tidak berlebih-lebihan) dalam memberikan nafkah (untuk keluarga) merupakan separuh kehidupan, saling mencintai sesama manusia merupakan separuh akal, dan bertanya dengan baik merupakan separuh ilmu pengetahuan.''(HR Thabrani).

Hadis tersebut mengandung makna bahwa kebaikan kehidupan bukan semata-mata ditentukan oleh seberapa besar pendapatan dan penghasilan yang didapat. Akan tetapi, ditentukan juga oleh seberapa efisien dan hemat (ekonomis) dalam mengeluarkan pendapatan yang ada. Oleh karena itu, pada beberapa ayat, seperti QS [6]: 31 dan QS [17]: 26-27, diungkapkan tentang larangan berlaku ishraf dan tabdzir (berlebih-lebihan). Keduanya adalah perbuatan yang tercela dan merupakan bagian dari perilaku setan yang terkutuk.

Keempat, hendaknya setiap keluarga mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk dibelanjakan di jalan Allah, baik dalam bentuk zakat, infak, sedekah, maupun wakaf. Perilaku ini akan menyebabkan keberkahan dan ketenangan hidup. Bahkan, harta yang diperoleh akan semakin tumbuh dan berkembang (QS [30]: 39 dan QS [2]: 261). Tidak pernah terjadi dalam sejarah bahwa sebuah keluarga jatuh miskin karena senang berinfak. Jadikan kebiasaan berbagi ini sebagai bagian dari gaya hidup keluarga.

Kelima, hendaknya setiap keluarga juga membiasakan diri menabung melalui lembaga keuangan syariah, sekaligus mempersiapkan diri dalam menghadapi masa depan, misalnya untuk pendidikan anak, kesehatan, dana pensiun, dan sebagainya. Jangan ragu untuk senantiasa memanfaatkan produk-produk bank dan asuransi syariah secara optimal demi menggapai masa depan keluarga yang lebih baik dan lebih berkah. Wallahu'alam.

Minggu, 21 Desember 2008 pukul 07:28:00
Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin
http://www.republika.co.id/koran/133/21737.html