Minggu, 02 November 2008

Kembali ke Bisnis ‘Sunnatullah

Kembali ke Bisnis ‘Sunnatullah’

Kalau mau sukses, jadilah pebisnis yang berbasis ‘sunnatullah’. Yaitu, bekerja keras, berkeringat, mengawal produksi, meneliti angka-angka, mengawal distribusi, dan sebagainya. Bukan menderivat, bermain dalam virtual bisnis (bisnis samar). Guncangan moneter dunia saat ini disebabkan oleh bisnis derivat, bisnis yang tidak memperjual belikan barang, melainkan hanya kertas, bahkan angka-angka. Uang bukan lagi menjadi alat tukar, tetapi lebih sebagai komoditas.
Begitulah lontaran Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos, dalam seminar bisnis bertema “Strategi Bisnis Menghadapi Krisis Keuangan Dunia yang Tidak Menentu”, yang diselenggarakan Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PWM Jatim, di Aula Mas Mansur, Gedung PWM Jatim, pekan lalu. Dipandu M. Najikh, Dahlan secara cerdas memberi alternatif solusi atas kepanikan pebisnis dalam menghadapi krisis global ini.
Dahlan menjadi pembicara terakhir dan atraktif. Sebelumnya, Kresnayana Yahya dan Tjiptono Darmaji bicara tentang tantangan perekonomian Jatim menghadapi krisis keuangan global. Kresnayana menyarankan untuk meningkatkan kewaspadaan para pengusaha dalam menghadapi biaya produksi yang meninggi di tengah daya beli masyarakat yang menurun. Sedang Tjiptono menjelaskan permasalahan ekonomi perbankan yang mengalami ketidakstabilan.
Di hadapan sekitar 300 peserta yang terdiri para pebisnis, Dahlan mengingatkan, menghadapi krisis seperti sekarang hendaknya tidak terperosok dalam pikiran saling curiga, apalagi menyalahkan kelompok lain atas nama agama. Krisis ini harus disikapi dengan nalar bisnis yang cerdas. “Krisis ini tidak ada hubungannya dengan kesalahan bank konvensional, atau sebaliknya kebenaran bank syari’ah,” tambahnya.
Memang, krisis saat ini diawali dari AS. Tetapi bukan berarti bahwa AS segera runtuh. “Krisis ini hanya akan merubah posisi Amerika dari kaya raya menjadi kaya sekali,” tuturnya yang membuat peserta tercengang. Karena itu Dahlan mengajak pebisnis untuk tidak melihat bagaimana AS, tetapi lebih banyak melihat ke dalam, sebagai upaya memperkuat posisi bisnis dalam segala kondisi.
Kata Dahlan, ada yang harus dikritisi dari krisis keuangan saat ini. Yaitu transaksi derivatif yang kebablasan. Ini adalah penyebab krisis yang utama. Karena transaksi produk turunan tersebut tidak ditopang dengan underlying asset yang memadai. "Jadi, ini seperti transaction without delivery," katanya di depan dua ratus pengusaha, profesional, dan tokoh Muhammadiyah Jatim itu.
Ia kemudian banyak menyontohkan perjalanan dirinya dan sejumlah pebisnis lain dalam membangun bisnis. Menurutnya, bisnis ‘sunnatullah’ terbukti sangat ampuh dan jauh lebih tahan banting dalam menghadapi berbagai guncangan ekonomi. Sementara bisnis derivatif, atau bisnis virtual, justru lebih banyak menjadi sumber malapetaka ekonomi. Ia kemudian menyontohkan bisnis derivasi minyak. Seseorang membeli satu juta barel minyak, lalu dijual ke orang lain. Pembeli kedua menjual pada pembeli ketiga. Demikian seterusnya, sampai transaksi itu mencapai puluhan bahkan ratusan kali. Padahal minyaknya hanya satu juta barel. Maka yang terjadi dalam transaksi itu bukanlah minyak riil, melainkan hanya lembaran-lembaran kertas, atau bahkan hanya angka-angka.
Itu sebabnya Dahlan menyebut bisnis yang demikian adalah serakah. “Sepanjang sejarah terbukti bahwa setiap keserakahan akan mengalami kehancuran. Maka mari kita bisnis yang wajar-wajar saja, bisnis berdasar ‘sunnatullah’. Mari kita bekerja seperti biasa, tetap semangat, dan tidak usah terlalu memikirkan krisis ini,” katanya.
Satu lagi resep dari Dahlan bagi pebisnis menghadapi krisis ini. “Umpama main layang-layang, tatap terus layang-layang itu, dan jangan sekali-kali ditinggal ke toilet,” kiasnya. Artinya, jangan sedikit pun lengah dalam mengawal bisnis. Dan ia memperkirakan, krisis ini berlangsung sekitar dua tahun. (matan/jp)

http://www.pwmjatim.org/BERITA/Oktober/Kembali%20ke%20Bisnis%20Sunnatullah.htm

Tidak ada komentar: