Kamis, 15 Januari 2009

Ini Negeri Amplop

Ini Negeri Amplop

Pak Irwan pengusaha pribumi. Produknya telah menembus pasar Eropa dan Amerika Latin. Berbagai penghargaan dan akreditasi mutu skala nasional maupun internasional telah diraihnya. Untuk ukuran pengusaha sukses, penampilannya terkesan sangat sederhana. Pekan lalu bersama sejumlah pengusaha, Irwan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda dalam acara sarapan pagi.
Bermacam persoalan mereka sampaikan. Dan, Irwan pun menyampaikan pengalamannya. ''Pak Menlu, saya ini mengutamakan legalitas. Prosedur dan izin saya ikuti. Saya ingin semua berjalan benar. Namun, jika jalan yang benar itu tetap kami tempuh, ya ... bangkrut.'' Lelaki berpeci itu melanjutkan, ''Meski semua izin lengkap, namun di jalan polisi menahan kontainer saya. Alasannya macam-macam. Ya sudah, daripada barang terlambat sampai, yang akan berakibat fatal, kasih amplop saja. Pak Menlu, dalam sidang kabinet nanti, tolonglah soal-soal seperti itu dibahas.''
Kisah Irwan --yang sudah menjadi suatu yang biasa-- membuat hadirin dalam pertemuan dengan Menlu itu tertawa. Aparat keamanan yang meminta uang, pengusaha yang terdorong untuk menyuap, birokrasi berbelit, dan berbagai penyimpangan lainnya telah menjadi keseharian --suatu yang telah dianggap wajar. Orang tidak lagi marah atau protes, bahkan justru tertawa.
Ketika Kwik Kian Gie berteriak tentang kerugian negara mencapai Rp 300 triliun akibat penggelapan pajak, kebocoran APBN, dan penggelapan hasil sumber daya alam, orang tidak lagi terperanjat, bahkan merasa pernyataan itu sebagai lelucon: Kwik yang berada di pusat kekuasaan, dalam kabinet yang dipimpin ketua umum partainya, kok tetap saja bertahan.
Negeri ini telah menjadi lelucon untuk ditertawai. Uniknya, lelucon itu tak pernah berhenti meski pemerintah silih berganti, pemain lama diganti pendatang baru, tata panggung telah berubah berkali-kali. Penonton pun telah berganti generasi. Itulah lelucon abadi, tentang negeri ini, negeri amplop, penduduknya mudah tersenyum dan sangat santun.
Ketika reformasi diyakini sebagai jalan untuk memberantas korupsi, yang tumbuh justru korupsi baru. Partai-partai buah dari kebebasan, sebagian di antaranya mengubah diri menjadi ''perusahaan jasa''--mengerjakan order, karena partai harus hidup dan memiliki dana. Mereka juga mengintai posisi menteri, karena dari situ terbuka peluang membiayai partai. Jika dahulu korupsi dilakukan sendiri-sendiri dan tersembunyi, kini terbuka dan berjamaah.
Ini negeri amplop. Orang-orang miskin harus mengeluarkan amplop untuk mendapatkan surat keterangan miskin. Orang-orang miskin yang ditangkap karena mencuri makanan, terpaksa mengeluarkan uang untuk keluar dari tahanan. Beruntunglah orang-orang kaya. Mereka memberikan amplop untuk mendapatkan uang lebih besar. Besar amplopnya, besar pula keuntungan yang diraihnya.
Ini negeri amplop. Pemerintah, polisi, jaksa, hakim, para pejabat, alim ulama, cendekiawan, politisi tahu soal itu sejak dahulu, tapi budaya amplop tetap saja berkembang dan bahkan telah menjadi lelucon. Dengan uang semua dapat diperoleh, kecuali rasa malu dan harga diri. Seorang anggota parlemen --yang ikut membuat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi-- dan kini telah menjadi orang kaya, mengatakan, ''Di negeri ini, hanya malaikat, bayi, dan orang gila yang tidak bisa disogok.''
Dia mengatakan itu sambil tertawa. Baginya itu lelucon. Di negeri ini, negeri amplop ini, korupsi, suap, penyelewengan telah menjadi lelucon abadi. Dan, kita tertawa menyaksikannya.

Rabu, 04 Agustus 2004
Oleh : Asro Kamal Rokan

Tidak ada komentar: