Rabu, 21 Januari 2009

Pendidikan Kejujuran Masih Defisit

Pendidikan Kejujuran Masih Defisit

Kantin kejujuran yang didirikan beberapa sekolah layak mendapat acungan jempol. Bermula dari kegelisahan atas membudayanya kebohongan, sekolah terpanggil menunaikan tanggung jawab mendidik siswa menjadi pribadi yang berbudi luhur. Kantin kejujuran didesain menumbuhkan generasi yang menjunjung tinggi kejujuran dan tidak memberikan toleransi atas kebohongan.

Dalam realitas kehidupan, kebohongan menemukan banalitas paripurna yang dilakukan tanpa perasaan bersalah sama sekali. Rasanya tepat bila pujangga besar Ronggowarsito meramalkan fakta tersebut dengan keprihatinan mendalam.

''Wong lugu keblenggu, wong jujur kojur, wong bener tengger-tengger, wong jahat munggah pangkat, pengkianat soyo nikmat, durjana soyo kepenak'' (Orang lugu terbelenggu, orang jujur terperosok, orang benar kehilangan akal, orang jahat naik pangkat, pengkhianat tambah nikmat, orang durjana tambah nikmat) (Sindhunata, 2000: 41).

Karena itu, tidak mengherankan berbagai modus kebohongan yang berekses kerusakan bangsa berjalan lumrah dan ''halal''. Korupsi, yang dilakukan secara individual maupun bersama-sama, mengalir dari hulu hingga ke hilir. Kebohongan mengakibatkan runtuhnya kepercayaan (trust). Francis Fukuyama menandaskan, kepercayaan adalah modal paling berharga dalam kehidupan. Tanpa kepercayaan yang dilandasi kejujuran, kehidupan akan porak-poranda.

Bila ditelisik mendalam, kantin kejujuran sebenarnya dering peringatan kegagalan pendidikan nilai, terutama pendidikan agama dan kewarganegaraan. Menurut Haryatmoko (2002: 40), setidaknya ada empat tujuan yang menjadi idealisme pendidikan. Yaitu, kompetensi, orientasi humanistis, menjawab tantangan sosial-ekonomi, serta kemajuan ilmu pengetahuan.

Diakui atau tidak, kegiatan belajar-mengajar cenderung berkutat pada penguasaan pengetahuan. Dengan begitu, hal tersebut memaksa peserta didik melahap ratusan kurikulum yang kadang mengabaikan penanaman nilai kebajikan. Akibatnya, proses pendidikan tersebut melahirkan siswa dengan nilai akademis tinggi, namun tidak berbudi luhur.

Kantin kejujuran yang beroperasi tanpa ada penjaga mencerminkan sebuah ikhtiar pendidikan kejujuran yang tidak berkutat dalam tataran pemahaman normatif, tapi dalam bentuk praktik. Kejujuran siswa benar-benar diuji. Keberhasilannya ditentukan oleh indikator apakah kantin tersebut mampu bertahan seperti halnya kantin biasa.

Menumbuhkan kejujuran sebenarnya dapat dilakukan sejak awal sebelum siswa terlibat dalam proses pendidikan. Sebuah teladan dari sekolah Kolose Kanisius, Jakarta. Sekolah yang didirikan sejak 1927 itu mensyaratkan siswa yang akan mendaftar menandatangani surat pernyataan yang berisi kesediaan dikeluarkan dari Kolose Kanisius bila terbukti secara meyakinkan menyontek ketika mengerjakan ulangan.

Bagi banyak siswa, menyontek adalah hal yang lumrah. Padahal, menyontek tak ubahnya pembiasaan kebohongan yang berdampak buruk dalam kehidupan. Karena itu, bagi Kolose Kanisius, menyontek mencerminkan kegagalan pendidikan dalam mengasah nurani siswa. Sanksi berat layak diberikan bagi penyontek. Kepandaian siswa tidak semata-mata ditentukan nilai akademis, tapi juga kepribadian luhur siswa.

Dalam tarikan napas yang sama, kantin kejujuran mencoba melatih kejujuran sehingga melahirkan siswa yang berbudi luhur. Ironisnya, beberapa sekolah tidak memberi keteladanan kejujuran. Pendidikan gratis yang digagas pemerintah Kota Surabaya dan mungkin juga pemerintah daerah lain, kenyataannya, tidak gratis seratus persen.

Buruknya sosialisasi pendidikan gratis mengakibatkan orang tua siswa tidak mengetahui bahwa biaya sekolah telah ditanggung Pemerintah Kota Surabaya. Besarnya dana anggaran sekolah gratis untuk SD (Rp 50 ribu), SMP (Rp 100 ribu), SMA (BKSTM) Rp 150 ribu, dan SMK (Rp 152 ribu) ternyata tidak menyurutkan pungutan ''tanpa kuitansi''.

Dana tersebut sebetulnya meng-cover delapan item biaya operasional sekolah, termasuk pemeliharaan gedung dan fasilitas sekolah (Metropolis Jawa Pos, 22/12/2008). Kalau demikian adanya, pungutan liar berlawanan secara diametral dengan kantin kejujuran.(oki)

20 Jan 2009 | Komentar : 0
Oleh: Muhammad Ainun N.
Guru SMK Metrika Surabaya
________________________________________
Sumber:
Jawa Pos, 18 Januari 2009
http://www.klubguru.com/view.php?subaction=showfull&id=1232427030&archive=&start_from=&ucat=2&

Tidak ada komentar: